Kopi pesananku sudah datang. Aku tersenyum ramah pada seorang waiters yang mengantar kopiku. Semilir angin tiba-tiba datang menyentuh pipiku yang putih pucat. Tadinya aku ingin melepas sarung tangan untuk memegang cangkir kopi itu. Namun kini ku urungkan karena aku tak biasa dengan hawa sedingin ini.
Dari jauh ku lihat ada seorang pria melewati jembatan kecil. Ia memakai jaket warna gelap yang tebal. Topi koboinya menaungi kepalanya dari terpaan angin. Ia berjalan santai. Sepertinya aku mengenalinya. Senyuman itu, ya seperti sudah pernah mengenalnya bertahun-tahun. " Ben...!" Aku hampir saja berteriak. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Tak mungkin itu Ben. Sudah 5 tahun aku tidak bertemu dengannya.
Tiba-tiba ada yang menepuk punggungku keras sekali. "Hey Runi..!! Sedang apa kamu" Wanita paruh baya itu memakai jaket tebal warna cerah menyala. Rambutnya panjang terurai. " Evvy, apa kabar? Tidak ku sangka kita bertemu di sini." Aku menyambutnya dengan ciuman pipi kanan dan kiri. " Aku sedang ngopi, duduklah" Aku hampir saja lupa dengan sosok pria yang ku amati tadi sebelum Evvy datang. Ah, terlambat dia sudah lenyap.
" Bagaimana kabarmu ?" Tanya ku pada Evvy. Ia terlihat begitu bahagia. Matanya berbinar-binar. " Aku baik-baik sama, Frans sudah bekerja sekarang." Ia kembali tersenyum. Sesekali merapikan poninya yang panjang. " Kau betah tinggal di sini Runi?" Evvy menatapku teduh. " Iya, meskipun terkadang aku tidak terlalu nyaman dengan hawa dingin di sini" Aku mengangkat cangkir kopiku yang tanpa ku sadari sudah hampir dingin. Evvy adalah teman akrabku semasa kuliah. Dia menetap di Amsterdam setelah menikah dengan orang keturunan Indo-Belanda.
" Vy, tadi aku lihat ada seorang pria, mirip dengan Ben.." Nada bicaraku sengaja aku pelanku. Dan aku agak menunduk. " Ben..??" Sahut Evvy, ia nampak kaget. " Iya, mirip sekali dengan Ben, senyum itu. Aku masih ingat betul." Jawabku sambil memainkan cangkir kopi yang kini isinya tinggal setengah
.
Evvy memegang tanganku erat. Tatapan teduhnya masih membuat nyaman hatiku. " Runi, aku tahu perasaanmu. Tapi kau tahu kan kita sudah 5 tahun tak pernah mendengar kabarnya lagi." Evvy mencoba menyadarkanku bahwa yang ku lihat bukannya Ben. Ya, mungkin aku terlalu merindukannya.
***
Sore itu aku sedang menikmati ayunan di bawah pohon trembesi besar di rumah tante Arini, di Bandung. 6 tahun yang lalu. Rumah ini selalu membuatku nyaman, apalagi tamannya yang luas.
Aku menatap ranting-ranting pohon trembesi yang rimbun itu. Sinar senja merangsek masuk lewat celah-celah daun. Menikmati sore di bawah pohon trembesi adalah kesenangan tersendiri.
" Runi..kemari sebentar nak!" Ku lihat tante Arini berdiri di teras belakang. Aku mengangguk, dan segera menghampiri tante Arini. " Ada apa tante?" Tanyaku. Tante Arini mengajakku ke dalam ruang keluarga yang luas. Ada seorang ibu muda dan anak laki-lakinya yang tampan. " Kenalkan ini teman tante, namanya tante Widi dan ini Ben anak tante Widi." Ujar tante Arini memperkenalkanku pada mereka. Aku tersenyum, " Saya Runi." Lalu duduk di sofa malas besar di depan mereka.
Tante Arini mengambil setoples makanan ringan dari meja makan. " Runi, tolong buatkan teh manis untuk mereka ya?" . " Iya tante" Aku beranjak, sekilas ku tatap wajahnya. Ben tersenyum padaku.
Ku buatkan dua cangkir teh manis. Ketika aku kembali dan menyuguhkan teh manis buatanku, Ben tidak bersama ibunya lagi. " Ben kemana tante" Tanyaku pada tante Widi. " Oh..di teras belakang mungkin." . Pandangan mataku langsung beralih ke teras belakang. Sambil membawakan secangkir teh manis untuk Ben.
" Hay.." Sapaku pada Ben yang duduk di bangku teras belakang. Ia tersenyum. Wajahnya cerah. Saat aku melihat raut wajah itu, aku percaya dia akan merubah hidupku. Ben terseyum lebar saat mencicipi teh manis buatanku. " Kau membuatnya sendiri..?" Tanya Ben seraya meletakkan secangkir teh yang mungkin tinggal setengah. " Ya." Jawabku singkat, ku balas senyum lebarnya. " Kau sudah lulus SMA kan..? Mau lanjut kemana..?" Tanyanya lagi. Ia mengekor di belakangku yang ingin melanjutkan main ayunan. " Hemm.. UI mungkin..?" Ku angkat kedua bahuku. " Kenapa ragu-ragu? Kamu nggak pengen ngejar cita-citamu?" Sahutnya dengan wajah penuh penasaran. Duduk di batang kayu besar di hadapanku. Baru kali ini ada orang yang menanyakan tentang cita-cita. Jujur saja, orang tua ku tidak pernah mendukungku soal ini. Lalu Ben, orang yang baru saja aku kenal. Menanyakan sesuatu yang selama ini aku hanya aku simpan. " Cita-cita? Seberapa penting sih cita-cita buatmu?" Tanyaku lebih pensaran. Sambil membenarkan posisi dudukku di ayunan.
Wajah cerianya mulai berubah serius. Namun masih membuatku tersenyum melihatnya. Membuatku gemas. " Pentinglah. Penting banget malah!" Ben mulai bicara. " Aku ingin ke Amsterdam ambil kuliah Ekonomi. Dan juga berlatih meracik kopi." Ben nampak sangat bersemangat. Aku memandangnya, ada sebaris keyakinan di raut wajah cerianya. " Barista maksudnya? Kamu suka kopi?" Tanyaku masih penasaran. Aku sengaja hanya duduk di ayunan mengamatinya. " Ya, sangat suka! Runi jika kamu punya cita-cita kejarlah! Karena kesempatan tidak datang dua kali." Ben bicara sangat tegas. Aku tersenyum menatapnya. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalari seluruh tubuhku ketika aku menatap wajahnya, senyumnya, dan matanya yang penuh keyakinan. Sejak saat itu aku meyakinkan diriku untuk mengejar cita-citaku. Seperti katanya sore itu di taman belakang rumah tante Arini.
***
Percakapan singkat bersama Ben itu adalah momen dimana aku menemukan keyakinan bahwa cita-cita harus di kejar. Dreams came true. Seperti katanya sore itu. Ya, sore yang singkat bersama Ben. Sejak saat itu kami hanya bisa berkomunikasi lewat email. Kami semakin akrab. Namun sudah 5 tahun aku tak pernah mendengar kabar darinya. Terakhir kali ketika aku berkunjung ke rumah tante Arini, ku tanyakan bagaimana kabar tante Widi dan Ben. Kata tante, Ben kuliah ke Belanda. Di Amsterdam tepatnya. Dan tante Widi kembali ke Jerman bersama suaminya. Kami lost contact.
Cangkir kopi yang sedari tadi hanya ku lihat-lihat saja, kini benar-benar sudah dingin. Evvy masih memegang tanganku erat. Ya, hanya Evvy yang tahu semua perasaan aneh yang kurasakan sejak pertama bertemu dengan Ben.
" Run, jangan-jangan, kamu kesini untuk cari dia?" Tanya Evvy penasaran. Dia menatap wajahku lekat-lekat. Pertanyaan Evvy ada benarnya. Apa mungkin aku kesini untuk mencari Ben yang menghilang dari pandangan mataku. Yang pasti rasa aneh itu berubah menjadi rindu yang berkarak selama bertahun-tahun. " Aku hanya ingin tahu kabarnya Evv, itu saja. Melihatnya dari jauh saja aku sudah senang." Aku semakin menundukkan kepala. " Aku tahu, kamu begitu merindukannya. Dan aku juga tahu perasaan itu. Tapi ini sudah 5 tahun Run, kamu siap dengan segala konsekuensi saat bertemu kembali dengannya?" Aku menggangguk.
Lima detik setelah aku menghabiskan kopiku. Sosok pria yang mirip sekali dengan Ben, yang ku lihat tadi kini berjalan melewati bangku ku. Sontak aku berdiri dan memanggil. " Ben.." Sapaku dengan nada ragu-ragu. Pria itu berhenti. "sorry, ik ben niet Ben, weet je Ben?" Pria itu berbicara dalam bahasa belanda. Aku mengangguk. Aku tahu sedikit bahasa belanda. " Indonesia?" Tanya pria itu lagi. Sekali lagi aku mengangguk. " Saya kakak dari Ben nama saya Julio, apakah kalian teman-teman Ben?" Tanya pria itu padaku. Ia sangat ramah, sama seperti Ben. " Ya, saya teman Ben dari Indonesia." Aku terseyum padanya dan mempersilakan dia bergabung bersama aku dan Evvy. " Ben tinggal tidak jauh dari sini. Oh itu Ben..!" Sahut Pria itu menunjuk ke arah sungai. Terlihat sebuah kapal kecil. Dengan penumpang seorang perempuan belanda yang sangat cantik, dan seorang laki-laki yang sangat ku kenal, ya, itu Ben. Itu senyumnya, garis keyakinan di raut wajahnya masih terlihat tegas. Tapi ada anak kecil di antara mereka. Tiba-tiba detak jantungku melonjak melihat pemandangan itu. Mereka nampak bahagia. Oh Ben. Aku memegangi dadaku.
" Is Ben getrouwd?" Evvy tahu bagaimana perasaanku dan perubahan raut wajahku sekarang. Sebelum Julio menjawab pertanyaan itu. Evvy buru-buru mendekatiku dan memeganggku jika sewaktu-waktu tubuhku ambruk ketika mendengar jawaban Julio. " Ya mereka sudah menikah, anak itu anak dari istrinya" Julio melambai-lambaikan tangan pada Ben. Ben tidak menyadari akan kehadiranku di sini.
Aku sudah lega melihat senyummu lagi, raut wajah tegas, yakin dan ceria itu. Sekalipun dari jauh dan aku tidak dapat menyentuhmu Ben.
Niken Sancaya
wah, jago juga nulisnya.
BalasHapusasyik nih bacanya :)
keep writing ya!!!
alhamdulilllaah....terima kasih yaa..? :D
Hapuskeren ;)
BalasHapuskeep blogging n writing!
Terima kasih Izza.. :)
HapusIya, terus berkarya ya..? :)