Jumat, 27 Mei 2016

KAMU





          Kamu, laki-laki yang selalu di sampingku. Garis-garis tegas di wajahmu seakan melukiskan baluran-baluran kisah hidupmu. Kisah yang kamu mulai ketika teman sebayamu masih saja manja di pangkuan ibunya, merengek minta handphone atau PS1. Kamu, dengan semangat mengayuh sepedamu hingga ratusan kilo meter dari rumah ke sekolah. 
          Matamu teduh, seteduh senja merah di langit sore. Ada cekungan hitam di bawah matamu, pertanda insomnia sedang menyiksamu. Garis-garis tegas di wajahmu selalu mengingatkanku betapa sulitnya hidupmu. Bukan karena kamu anak orang tak berpunya, tidak orang tuamu sangatlah mampu. Tapi, ketika aku seusiamu dulu, ketika kamu mengayuh sepedamu hingga kesekolah, aku masih anak ingusan yang belum tahu apa arti hidup. Tiap kali mengelus dahimu, ku rasakan kisah-kisah itu.
          Di usiamu yang begitu muda, kamu sudah tahu arti kata "mandiri". Mungkin jika anak ayam, ia sudah di sapih oleh induk ayam ketika usianya masih menginjak 2 minggu. 
          Dengan semua kisah dan pengalaman hidupmu, kamu ajari aku banyak hal. Tentang arti hidup, ketulusan, kesabaran, hingga pengorbanan.
          Memeluk tegapnya tubuhmu, aku selalu berbisik pada hatiku, betapa beruntungnya aku. Mengendus aroma tubuhmu, seperti menghirup udara pegunungan yang segar. 
Aku hanya sosok wanita lemah, yang gampang meluruhkan butiran-butiran air mata. Wanita yang tiap kali selalu berbagi cerita. Dan kau dengan penuh kesabaran membimbingku tanpa henti, meskipun aku tau betapa lelahnya kamu. 
Terkadang sifat burukku muncul tiba-tiba, dan aku tau kamu sudah berkali-kali menasehatiku. Amarahmu adalah sebuah cambuk bagiku, hatiku nyeri. Tapi ini salahku, dan kamu berkali-kali memberikan kesempatan padaku untuk memperbaikinya kembali.
Jika boleh aku tau, hatimu terbuat dari apa?
Terima kasih telah berjuang bersama, ini belum berakhir kita akan kembali berjuang dan mungkin akan lebih keras, dan jangan biarkan aku berjuang sendirian.
Terima kasih selalu menguatkan ketika segala macam pikiran menggelayuti kepalaku, nyatanya semua kisah hidupku pernah kamu lalui dalam kisah hidupmu.
Terima kasih selalu membuatku tertawa, tanpa lelah mendengar semua cerita-ceritaku, mengusap air mataku ketika aku menangis tersedu-sedu, selalu memberikan sandaran untukku.
          Terima kasih lelakiku, tetaplah seteduh senja. Dan jangan pernah sedingin hujan, karena hingga hujan berhenti dinginnya masih mengernyap.