Kamis, 26 Desember 2013

bersih-bersih sarang laba-laba..

Assalamulaikum....
halooo...haloo...wuuiihh..lama gag ngeblog, postingan terakhir saya bulan september sikita 2 bulan lebih yang lalu ya. Banyak sekali sarang laba-laba disini rupanya,haha baru di tinggal 2 bulan. Sambil bersih-bersih, saya mau sedikit curcol nih.
 memang akhir-akhir ini lagi super sibuk, sama yang namanya tugas kuliah. Mulai dari ujian tengah semester yang lalu tugas muali menumpuk, makalah-makalah individu bertebaran di kamar kos saya..haha
dan puncaknya pertengahan bulan desember ini, saya dan teman-teman menjalani UAS selama 2 minggu. Dan alhamdulillah sekarang sudah selesai, dan sekarang saya sedang menikmati bermalas-malasan di rumah saya tercinta :D
liburan kali ini berlangsung  3 minggu, lumayanlah untuk bermalas-malasan :P
oiya karena kepadatan tugas akhir kemarin, saya jadi gag bisa ngembaliin novelnya Tyas , padahal sudah seminggu lebih saya pinjam, aduh ngrasa gag enak juga sama dia, udah minjem ke penulisnya tapi gag di kembaliin, hehe
untungnya Tyas baik hati, bukan merelakan novelnya tentunya, tapi ngasih saya waktu nanti kalau habis liburan baru ketemuan lagi, thanks Tyas ..novelnya keren :D
segitu dulu ya curcolan saya kali ini, lain kali saya akan share cerpen atau puisi lagi..bye :*

Rabu, 25 September 2013

Memory


Laki-laki itu terlihat resah. Sudah beberapa kali ia mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Lengan kemejanya terlihat dilipat sampai hampir ke siku. Dasi dengan corak garis-garis itu juga ia longgarkan. Tangannya tak henti-henti menjambak-jambak rambutnya.

    " Rey..! Duduklah..! Aku pusing lihat kau mondar-mandir terus! " Seorang perempuan muda yang sedang duduk terlihat kesal.
    Rey berdiri di hadapan perempuan itu. " Mei..bagaiman aku bisa duduk tenang? Di dalam sana Maya sedang operasi!" Sekali lagi Rey meremas kuat rambutnya.

    Meila melipat tangannya. Ia terlihat masih kesal. " Kalau saja kamu tidak pergi, mungkin kondisi Maya tak separah ini! Kau tau Rey, kondisi Maya memburuk setelah kau pergi dan tak bisa dihubungi lagi..! " Nada bicara Meila semakin tinggi. Lalu ia meninggalkan Rey mematung di lorong rumah sakit. Meila mencoba menahan air matanya.
    Rey terdiam. Ia menduduk, matanya berkaca-kaca. Lorong rumah sakit itu menghening.

    ***

    Rumah bergaya minimalis  itu nampak sejuk dengan taman yang tertata rajin mengelilingi halaman rumah. Ada beberapa bunga-bunga di teras rumah. Menandakan bahwa yang empunya rumah menyukai tanaman. Cat rumah warna orens muda terlihat begitu asri.

    Rey baru saja bangun tidur. Selimut tebal masih membungkusnya rapat. Nampaknya ia masih enggan beranjak dari tempat tidur. Rey menoleh ke samping kanannya, Maya sudah bangun rupanya. Tiba-tiba ia mengendus aroma butter yang nikmat. Hidungnya mulai mengendus-ngendus kemana arah aroma itu berasal.

    Rey turun manapaki anak tangga tanpa memakai alas kaki. Hidungnya masih bergerak-gerak, dan aroma butter itu semakin kuat. Ditengoknya ke arah dapur. Seorang wanita muda dengan celemek hijau muda dan baju tidur panjang. Sedang berkutat dengan sesuatu di dapur.

    Ia berhenti di pintu dapur. Memandang istrinya yang sedang memasak. Rey tersenyum, lalu mencoba mendekati istrinya yang tidak sadar akan kedatangannya. Rey memeluk pinggang langsing itu. Memeluknya erat, menghirup aroma tubuhnya lekat-lekat. Menyandarkan dagunya ke bahu kecil itu.
    " Astaga! Rey..kau membuatku kaget!" Maya seketika hampir melonjak. Tangannya bergetar. Detak jantungnya melonjak. Maya memegangngi dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya. " Maaf sayang, kamu sedang masak apa?" Rupanya suara Rey yang mampu membuat detak jantung itu kembali berdetak dengan normal.

    Maya membalikkan badannya. " Bikin roti bakar, buat kamu sarapan." Tangannya mengusap lembut dahi Rey dengan lembut. Rey tersenyum manis. " Sudah lepaskan tangannmu itu Rey, aku masak dulu." Maya mengedipkan mata pada Rey. " Hey, kenapa kamu tidak pakai alas kaki Rey? Nanti masuk angin lho? " Maya berkacak pinggang. Mengomeli suaminya yang terkadang bandel. " Iya-iya sayang, kamu cerewet banget sih..?" Rey memeluk lagi istrinya. " Sudah Rey, mandilah sana, kamu bisa terlambat." Maya membalikkan badannya. Kembali pada roti bakarnya yang hampir saja gosong.

    ***

    Rey nampak sibuk. Lembar-lembar kertas berserakkan di meja kerjanya. Ia meraih cangkir kopi yang sudah separuh itu. Menghela nafas berat, ketika memandangi kertas-kertas itu. Tiba-tiba, Ratna sekertaris Rey mengetok pintu.

    " Ya ada apa?" Rey nampak tak ingin diganggu. Tanpa menoleh ke arah sekertarisnya. " Ada yang ingin ketemu bapak. " Ratna tampak aragu-ragu. " Siapa..?" Kali ini Rey menganggkat kepalanya. Dan mencoba membenarkan letak kacamatanya.

    " Katanya tadi teman lama bapak"
    Rey mengerutkan dahinya. Penasaran. " Oke. Suruh masuk" Rey membereskan kertas yang berserakan di meja kantornya. Ia memandang pintu kaca transparan. Sosok laki-laki tinggi tegap berada di depan pintu.
    " Masuk." Rey membenarkan posisi duduknya. Dan merapatkan dasi yang tadi ia longgarkan. Laki-laki itu masuk ke ruangan Rey yang lumayan besar. Ia memakai jaket tebal warna hitam dengan bawahan celana jins, dan sepatu olahraga warna putih. Nampak sporty. " Silakan duduk." Rey nampak ragu-ragu menyambut laki-laki asing itu. Rey merasa tidak mengenalnya, namun wajahnya seperti familiar. Laki-laki itu menunduk. Rey mencoba mengawali pembicaraan. " Ada yang bisa saya bantu? Apa kita pernah kenal..?" Ia memainkan jari-jari tangannya mencoba mencari kata yang tepat.

    Laki-laki itu akhirnya mengangkat kepalanya. Menatap Rey tajam. " Kau lupa dengan aku..?" Laki-laki itu nampak bermuka serius. Rey kembali mengerutkan dahinya. Dan menggeleng pelan. " Kalau ini kau ingat? " Laki-laki itu menunjukkan sebuah foto. Di foto itu terlihat seorang pria memeluk wanita cantik. Lali-laki itu menyodorkan foto itu pada Rey. Rey mengambil foto itu, tangannya bergetar. Ia mengenggam tangannya kuat-kuat, hampir meremas foto itu. Wanita dalam foto itu Maya, istrinya. Foto yang mungkin di ambil ketika mereka belum menikah beberapa tahun yang lalu. Memory pahit itu seketika kembali lagi.

    " Andri..!! Kenapa kau kesini? Apa yang kau mau..??" Rey berdiri dari duduknya. Nada bicaranya meninggi. Ia emosi.
    "Aku hanya mengingatkanmu saja. Bahwa Maya tak pernah bahagia bersamamu!"
    " Tau apa kau soal Maya..!"
    " Asal kau tahu Rey, kau tak pantas untuk Maya!"
    " Keluar sekarang juga..!!" Rey tidak bisa menahan emosinya.
Andri keluar dengan rasa menang sudah membuat emosi Rey. Rey mencengkeram rambutnya. Emosinya tak terkendali.

    ***

     Mobil BMW mewah itu melaju tak terkendali di jalan yang basah akibat hujan. Rey berkali-kali memukul-mukul setir mobilnya. Emosi masih menguasai dirinya. Hingga sampai di depan gerbang rumahnya yang tertutup. Rey menghentak-hentakkan klakson mobil hingga terdengar bising.

    Dari dalam nampak Maya berlari menghampiri gerbang. " Pelan-pelan Rey.." Maya mencoba mengingatkan suaminya agar memakir mobilnya pelan-pelan. Rey keluar mobil lalu langsung masuk ke dalam rumah tanpa menyapa Maya yang masih mematung di teras. " Rey...kamu kenapa..?" Maya mengekor suaminya menuju kamar mereka.

    Maya mencoba menenagkan Rey yang sedari tadi hanya mondar-mandir di depan tempat tidur. " Rey.. ada apa..? Ada masalah di kantor?" Maya mendekati Rey, membelainya lembut. Tak disangka Maya, Rey mencoba menghindari tangan Maya. Sontak Maya kaget dengan perlakuan Rey. " Jelaskan apa maksudnya ini?" Rey menunjukkan foto yang ia dapat dari Andri.
    " Rey kita sudah pernah bahas ini berkali-kali kan sebelum kita memutuskan untuk menikah." Maya mencoba meredam emosi Rey. " Iya kita memang pernah bahas ini dulu! Tapi aku nggak bisa maafin ini!" Rey terlanjur marah. "Berarti kamu nggak pernah maafin aku selama ini?" Maya mencoba memeluk Rey, namun Rey menghindarinya. Ia malah membuka lemari dan mulai mengeluarkan semua pakaiannya. "Rey kau mau kemana..?" Maya panik. Mencoba merebut baju Rey dan memasukkannya kembali ke lemari. Rey bersikeras, ia meraih tas besar di atas lemari. " Aku mau pulang ke medan..!!" Nada tinggi Rey membuat Maya terisak.

    " Rey jangan pergi!" Maya merangkul kaki Rey yang akan melangkah pergi dari rumah. Rey tetap keras kepala, ia pergi meninggalkan Maya yang semakin terisak.

    ***

    Sejak saat itu kondisi Maya memburuk. Kepada Meila lah dia berbagi. Sahabatnya yang selama ini mengurusi Maya. Dan sudah dua bulan tidak pernah ada kabar dari Rey, handphonenya tidak bisa di hubungi. Maya di vonis menderita kanker otak oleh dokter. Hari ini Maya menjalani operasi, dan hari ini pula Rey kembali.

    Seorang dokter keluar dari ruang operasi. " Anda keluarga bu Maya..?" Tanya dokter itu pada Rey yang masih terlihat sedih. Rey sekita berdiri di hadapan dokter itu. " Iya dok, saya suaminya" Ujar Rey, sambil mengusap air matanya yang hampir menetes di ujung matanya. " Operasi Bu Maya berjalan dengan lancar. Dan janin yang dikandungnya selamat." Dokter itu tersenyum lega. " Janin dok?" Rey nampak bingung. " Ya bu Maya sedang mengandung dua bulan" Sekali lagi dokter itu tersenyum pada Rey.

    Rey memasuki ruangan tempat Maya di rawat. Ruangan yang lumayan luas, dengan sofa besar di sudutnya. Maya nampak terbaring lemah. Rey menghampirinya, tangannya bergetar. Ada sebutir airmata di ujung matanya yang hampir menetes. " Harusnya aku nggak tinggalin kamu, harusnya aku bisa naham emosiku kemarin" Rey terisak sambil memegangi tangan Maya yang lemas. " Aku minta maaf sayang, aku nggak akan tinggalin kamu lagi" Rey makin terisak. Tiba-tiba ada tangan yang lemah mengelus rambutnya lembut. " Rey, kamu disini?" Ujar Maya yang baru saja sadar dengan mangkok oksigen yang masih menutup hidung dan mulutnya. " Maya..Maya..! Kamu sudah sadar?" Rey mengelus rambut Maya yang terurai panjang.

    " Jangan tinggalin aku Rey"
    " Nggak, aku nggak akan tinggalin kamu sama calon anak kita" Rey mengelus perut Maya yang belum terlihat membuncit. Maya tersenyum, Rey mencium kening Maya lembut.

Rabu, 11 September 2013



My september......
pertama-tama ...terima kasih ya Allah..masih memberikan saya kesempatan hidup di usia yang menginjak 21 tahun ini, terima kasih atas segala nikmat yang Engkau berikan, nikmat bernafas yang tiada henti mendampingi setiap detik anugrah yang Engkau berikan. Kepada kedua orang tua, yang selama ini merawat dan melindungi saya, terima kasih atas kesabaran ibu dan ayah, terima kasih atas segala kasih sayang yang tiada batas...Kepada kakak dan saudara atas ucapan dan do'anya. Kepada Irsyad .. yang setia mendampingi saya selama dua tahun ini, terima kasih atas kesabaranmu yang tak pernah lepas dari mata teduhmu, terima kasih telah menjagaku, terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang kau berikan, terima kasih telah menerimaku yang apa adanya..:)



Terima kasih untuk semuanya...
21 tahun...tidak terasa, tua nggak sih..?:D ( Masih imut kok :P), ultah kali ini berbeda...ya, walaupun seperti biasa tidak ada perayaan mewah. Hanya kejutan dari abang sebelum hari ultah tiba, dia kasih kado yang tanpa pembungkus dan kertas kado :D dan aku di suruh pilih sendiri. Kemarin sebelum tanggal 10, dia ajak aku ke Blossom, aku kira dia mau beli jaket, karena sebelumnya dia pengen banget beli jaket di Blossom. Sampai sana, eh di bilang aku suruh pilih jaket buat aku, shock, bingung, senyum-senyum jadi satu..hehe Setelah meyakinkan, kalau abang sungguh-sungguh mau beliin aku jaket baru, baru cari-cari. Ternyata pilihannya dikit, ya sudah akhirnya lari ke Matahari Matos buat cari jaket. Setelah sampai sana langsung ke Nevada, cari-cari jaket yang cucok...akhirnya abang yang nemuin (lagi) jaket yang bagus. Oke pilih itu deh..jaketnya keren bagus..terima kasih abang Irsyad :D sii abang senyum-senyum sambil bilang " bener kan nggak usah pake kertas kado, cukup tas plastik Matahari" hahaha ngakak deh..

Terus pas tanggal 10 nya, dinner (ciieee) udah berkali-kali makan bareng abang, masih bisa di sebut dinner emang?haha , tujuan awal ke Warung Penyet , sampai sana keliatan banget kalau lagi rame, okelah tetep pilih tempat duduk, setelah nunggu masnya buat anterin buku menu, eh katanya menu abis ..hiiaa ..kagak bilang dari tadi sih masnya..

Ya sudah pindah tujuan kedua, sop ayam pak Min, di daerah Dinoyo sampingnya McD. Tempatnya sih biasa kayak di Soto Ayam Babon di ITN, tapi rame banget.  Baru masuk langsung pilih sopnya mau yang ayam bagian dada, kulit, jeroan( hati dll), ceker dll banyak deh, karena bingung banyak pilihan kita sepakat pilih sop dada ayam deh. Pelayannya banyak banget plus rame, nggak perlu nunggu lama, sop ayam langsung di anter ke meja kita. Secara penampilan pucet, tapi begitu di cobain.. gilee enak pakai banget deh. Ini sop juara, seger banget. Sopnya semangkuk, terus nasinya di pisah juga semangkuk.  Wah wajib balik kesini deh nanti. Sop Ayam Pak Min ini wajib di cobain deh, enak banget soalnya.  Oh ya maaf tidak ada foto hehe. Berhubung banyak tulang-tulangnya aku makannya jadi dobel lama deh.  Perporsinya harganya Rp. 18000, tapi tergantung bagian ayam yang mana yang dipilih. Setelah kenyang dengan sop ayam, kita cus ke Hypermart Matos buat beliin anak-anak kos kue. Setelah dapet kuenya, bayar, waktu mau naik ke lantai atas keinget es krim, di beliin es krim deh sama abang. Sundae coklat kesukaan. Yummy

Jumat, 06 September 2013

Janji Hujan






Aku tak tau sejak kapan aku membenci hujan, entah…
cerita apa yang bisa ku bawa ketika hujan tiba, haruskah aku menari-nari di bawah derasnya hujan? Ah kurasa itu tak lucu. Ada beberapa atau mungkin sebagaian orang sangat menikmati hujan, tapi itu tak berlaku untukku.
Yang pasti aku selalu merasa sendirian jika langit mulai gelap, dan berharap agar angin meniupnya kencang-kencang  dan lenyaplah segumpal  awan hitam itu.

Tapi nyatanya hari ini hujan, deras…
Dan akhirnya kutemukan sendu..

Aku hanya bisa menatapnya dari jendela kamar dengan muka asam. Jendela penuh debu yang nyaris tak pernah aku bersihkan selama setahun ini. Seharusnya aku tidur siang sekarang, jam kuliah yang begitu padat membuat tubuh ini ingin istirahat, tapi aku tak bisa tidur ketika butiran-butiran air langit itu jatuh. Tak tahu kenapa mataku menerawang jauh ke arah awan gelap itu, masih di depan jendela. Ku tatap ia lekat-lekat, ku bagi kisahku padanya, kali ini.

***

Sosok lelaki itu tak pernah ku lihat sebelumnya, tinggi, putih, dan lumayan tampan. Aku tak begitu antusias dengan kedatangan anak baru di sekolahku, biasa saja. Lain lagi dengan teman sebangkuku, bahkan dia sempat hampir mengusirku jika yang datang cowok keren. Hah…sudah gila rupanya temanku ini. 

Dan ketika guru wali kelasku masuk kelas dan membawa sesosok manusia asing ke dalam kelas dan sudah dinanti oleh semua penduduk kelasku kecuali aku. Dan terang saja ketika teman sebangkuku berteriak kegirangan dan sudah ku duga pasti cowok itu keren, menurutnya sih. Aku tak terpengaruh sama sekali dengan kegaduhan kelas yang menjadi, terutama para siswa kaum hawa. Mereka bertriak-teriak layaknya bertemu idola mereka. 

Sedang aku masih terlalu asyik dengan buku tulis di hadapanku. Enggan mencari tahu sumber penyebab kegaduhan kelas tercintaku ini. Aku melanjutkan menulis catatan dari buku Fisika milik Metha yang ku pinjam. Aku tidak masuk kelas kemarin akibatnya aku ketinggalan pelajaran. Hemm..satu hari itu sangat penting bagiku, dan melewatkannya sehari saja bagiku adalah penyesalan besar-besaran. 

Masa SMA yang sangat membahagiakan, ya sejauh ini masih normal-normal saja. Aku punya sahabat yang super duper lemot, tapi anehnya dia sangat nyantol dalam hal pelajaran. Kami sebangku sejak kelas 1 sampai kelas 2 ini, kita selalu sama-sama, tiada hari tanpa ngrumpi dengannya. Mulai ngomongin guru-guru yang nyebelin, adik kelas yang sok akrab plus sok kecantikkan sampai ngomentarin masakan buk Inah salah satu penjual di kantin sekolah. Warung buk Inah jadi favorit kita buat nongkrong, sarapan, makan saat jam istirahat atau sekedar minum es saat jam pelajaran kosong. 

Oke fine, kita balik lagi ke kegaduhan kelas diakibatkan mahkluk asing penghuni baru kelas. Aku masih belum tergoda untuk mencari sosok asing itu. Aku masih sibuk menulis rumus tidak jelas ini. Tiba-tiba Metha mencubitku denga keras. 

"Apa-apaan sih lu Met..sakit tau!" Aku meringis menahan sakit, sambil mengusap-usap lenganku yang memerah. "Itu Ghe..cowok gan..teeng.." Metha terbata. Mukanya bersemu merah jambu, dengan kulit putih seputih china. Mulut Metha berbentuk huruf "U", dengan tangan kanannya meremas lengan kiriku, sedang tangan kirinya memegang pipinya.

Karena cubitan dan remasan tangan Metha yang mampu membuat lenganku merah mirip luka KDRT yang di lakukakn para artis. Akhirnya aku terpaksa menoleh mencari makhluk yang dimaksud. Ku lihat pak Wili wali kelas kami berdiri yang senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya yang membuat kami semua silau. Ia berdiri bersama makhluk asing itu, tinggi, kurus, rambut agak pirang dengan gaya anak muda yang gaul abis, kulit putih. Aku mengamatinya mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah apa yang tiba-tiba membuatku tertarik mengamati makhluk satu ini.

Akupun mulai memberanikan bertanya namanya pada Metha, "Namanya siapa?" Sambil mendorong lemah lengan atasnya. Sedang mataku masih mengamati sosok aneh itu. Ya aku bilang aneh, karena rambutnya itu. Metha sepertinya memandangi mukaku yang penasaran. "Eh bentar tumben lu penasaran sama makhluk asing?" Metha bermuka kaget masih memandangku dengan bentuk mulut yang aneh.
Aku balik memandangnya dengan muka yang tak kalah aneh darinya, dua detik, lima detik, 10 detik, aku mulai berpikir benar juga kenapa aku tertarik dengan makhluk asing itu? Sedang selama ini aku benar-benar sangat tidak tertarik sama sekali dengan murid baru. Melihatku yang sedang bengong Metha tampaknya sedikit khawatir mungkin takut aku dirasuki setan pohon beringin belakang sekolah yang ditebang tempo hari, " Ghea...lu nggak kenapa-kenapa kan?" tanyanya pelan, sambil melambai-lambaikan tanganya di depan mukaku.

"Enggak kok nggak kenapa-kenapa, ya gue kan cuman penasaran." Jawabku sekenanya sambil kembali menulis rumus-rumus tidak jelas itu. "Namanya Rama, Ghe," Metha berbisik padaku dengan mata yang masih tertuju pada makluk bernama "Rama". Aku hanya melihatnya sekilas.

Riuh kelas menyambut makluk asing itu, terlihat sekilas dia melewati bangkuku. Dia sepertinya duduk di belakang, aku tidak berniat untuk menengoknya.

***

Baru saja aku turun dari mobil, berpamitan dengan Mama dan Dion adikku satu-satunya yang masih duduk dibangku SD. Dari belakang Metha berlari seperti dikejar monyet. " Ghea...Ghea....tungguin!" terdengar nafasnya terengah-enggah.

Ah, pasti gosip infotaiment terbaru deh. Aku hanya menoleh ringan, seraya memasang senyum selamat pagi yang sangat ramah, khusus untuk Metha " Ada apa sih, dikejar monyetnya si Maman?" gosipnya nih ya konon si Maman temen sekelasku yang paling aneh itu punya seekor monyet. Demen banget ngejar-ngejar cewek cantik macam Metha. Eh tunggu emangnya monyet ngerti mana cewek yang cantik dan mana cewek yang jelek. 

"Bentar-bentar.. gue nafas dulu, capek" Metha terngengah, sambil memegangi dadanya. "Lagian elu sih lari pagi pas berangkat sekolah" tungkasku seraya berjalan menuju gerbang sekolah. 

"Heyy Ghe..tunggu dong"
            " Kenapa Metha sayang, gosip baru ya"
            " Ini bukan gosip, tapi fakta." Mukanya mulai sok serius dengan nada suara menurun.
            " Hah, apaan?" tanyaku pendek.
            " Si Rama Ghe, dia mau masuk eskul teater, eskul lu" Kini mukanya berubah berseri-seri.
            "What..nggak salah dia ikut eskul teater? Bisa apa dia?" Mukaku mulai menunjukkan rasa yang sangat amat tidak senang akan kehadirannya di eskul teater yang aku pimpin.
            "Eh jangan salah kata anak-anak dia juaranya teater!" Metha mulai antusias bergosip.
            "Oke kita lihat saja nanti, bisa ngalahi gue nggak dia?" , tanganku berkacak pinggang berlagak seperti jagoan yang sedang menantang musuh.

Tet...tet...tett...

            Bel telah berbunyi tandanya para murid bersiap menerima asupan gizi sebuah pembelajaran yang membosankan. Kami bergegas ke kelas tidak mau terlambat. Karena ini waktunya Pak Rahman guru Matematika yang super duper bawel.

***

Hari kamis sore ini waktunya latihan teater buat acara perpisahan kelas 3. Berhubung aku jadi ketua tahun ajaran baru ini, pasti bakalan sibuk banget. Si Metha malah ngajakin ke Mall buat shopping, dasar shoppa holic. Aku harus nyiapin anak-anak buat latihan, anak-anak lama sama yang baru. Anak lama kebagian pemain inti, dan yang baru jadi figuran. Kan mereka masih amatir. Termasuk si aneh Rama.

"Rendi, lu bisa sebarin info nggak ke anak-anak teater, nanti sore latihan jam 3." Kataku pada Rendi wakilku di teater. Rendi yang sedang asyik makan mie ayam di kantin hanya menjawab, he eh-he eh saja dengan mulut penuh mie. "Harus on time ya? Anak-anak baru juga harus dateng!" tambahku sambil menyuapkan sesendok nasi uduk ke dalam mulut. Metha yang duduk di sebelahku juga sedang asyik menikmati mie ayam. Kantin ini penuh sesak masakan buk Inah emang juara. Ku pandang sekeliling kantin kesayangan ini, didominasi kelas 2 hampir 80% pengunjung kantin ini hanya kelas 2. Mungkin karena kantin ini lebih dekat dengan kompleks kelas 2 daripada kelas 1 atau kelas 3.

Istirahat terakhir ini memang penuh perjuangan untuk mendapatkan sepiring nasi. Karena terkadang sudah habis saat istirahat pertama sedang berlangsung. "Huaah pedes...ambilin kecap dong Ghe!" Metha mendesah kepedesan. Aku hanya tertawa dalam hati. Udah tau nggak doyan pedes masih aja ambil sambel sesendok. "Nih.." Sambil menyodorkan sebotol besar kecap pada Metha. Muka Metha terlihat merah padam seperti lampu trafic light tanda semua kendaraan harus berhenti.

"Eh Ghe nanti sore lu latihan ya?"
            "Iya..emang kenapa?" jawabku pendek sambil meneguk segelas es Degan segar.
            "Gue ikutan dong, gue pengen liat si Rama akting" 

Sudah aku terka pasti Metha akan memintaku mengajaknya untuk melihat Rama, apa bagusnya Rama sih? Cowok aneh, muka bule tapi nama Jawa. Sejenak aku berpikir untuk permintaan Metha. "Oke deh, tapi lu jangan ngrecokin latihan gue!" tungkasku pada Metha yang masih kepedesan.

Mendung menggelayut di langit kota Bandung, aku masih duduk di depan sanggar. Jam 1 siang aku tidak berencana untuk pulang, karena jika aku pulang sudah pasti tidak ada yang mengantarku balik ke sekolah. Mama belum pulang dari kantor. 

Ku tatap langit mendung itu dengan muka asam, bengong di depan sanggar tanpa tahu harus berbuat apa. Ku lihat kakiku yang memainkan sepatu, sesekali menggaruk-nggaruk lantai yang kasar. Berharap mendapat inspirasi, tapi nyatanya. Kosong.

Aku segera menyibukkan diri sebelum mati bosan. Entah bagaimana bentuknya orang mati bosan ya? Ah, aku ini hanya bisa menghayal yang tidak-tidak. Aku memutuskan untuk masuk saja ke dalam sanggar. Ku buka laptop warna pink milikku memutar setengah kencang beberapa lagu milik Taylor Swift. Agar tak terlalu sepi suasana di sanggar yang penghuninya hanya aku. 

Mendung semakin menghitam, dan ketabahan hatiku untuk menunggu anak-anak untuk latihanpun runtuh. Ketika hujan mulai turun. Pasti anak-anak tidak akan datang dengan keadaan hujan deras. Sekalipun mereka menyebut bahwa hujan itu romantis. Tapi kalau disuruh pilih antara latihan atau tidur di saat hujan. Yakin 100 persen mereka bakal pilih tidur nyenyak mengurung diri di balik selimut tebal.

Terdengar suara mobil sedang berhenti, ku alihkan pandanganku keluar ruangan. Mobil itu belum pernah ku lihat disekolah ini. Bukan milik Metha atau milik Mama. Dahiku mengerut mencari tahu siapa yang menungganginya. Dan...oh my...itu kan Rama..pekikku dalam hati, tak tahu harus senang atau sedih. Ia berlari kecil, takut kehujanan. 

Ia membersihkan bajunya yang sedikit basah. Merapikan rambutnya yang tidak beraturan. "Tadi Metha SMS aku katanya kamu sendirian di sanggar, makanya aku langsung kesini", katanya seraya memasang senyum lebar-lebar. "Aku khawatir sama kamu, kalau ada apa-apa" masih tersenyum manis.

 Aku tidak menjawabnya, aku terpana, mulutku terkunci rapat. Bukan karena pesonanya, tapi perkataannya yang baru saja ia lontarkan. Sebegitu khawatirkah dia padaku? Aku masih sibuk mencerna apa yang ku dengar.

"Ghe..? Haluu.." Tangannya melayang-layang di depan mukaku. Sesegera mungkin aku sadar dari bius kata-katanya. "Oh iyaa Ram, makasih ya? Kenapa repot-repot kesini kan latihannya masih ntar sore?" Ku tatap jam dinding di atas lemari menunjukkan pukul 14.00. "Ya nggak apa-apa dong sambil maen aja, nemenin kamu juga" Jawabnya masih sambil tersenyum.

Kami terlihat canggung, bahkan kami memanggil "aku-kamu" yang biasanya jika berbicara dengan Metha "loe-gue". Apa –apaan ini aku salah tingkah, apa yang terjadi. Waktu dan suasana menyudutkan hatiku. Dan hujan semakin deras, tapi petir tidak kadang kali ini. Aku sedikit lega.

Dia berkeliling ruangan, mengamati benda-benda di sanggar ini. Sanggar yang tidak terlalu luas tapi cukup untuk latihan sehari-hari. "Itu foto waktu kita pentas di taman kota" kataku bersemangat menjelaskan setiap foto yang ia amati."kalau yang ini ?" ia menunjuk sebuah foto. "Itu bang Boim sama bu Fara. Bang Boim itu senior kita dia sekarang kelas 3, terus bu Fara itu penanggung jawab eskul teater ini."

"Kamu pindahan dari mana sih Ram?" Pertanyaan yang tolol, jelas-jelas kita sekelas tapi aku tidak tahu di darimana.
            "Kamu parah ya Ghe..." Sahutnya sambil menggaruk-nggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal, berjalan menunjuk tempat dimana aku duduk manis. "Aku dari Jogja, ortu pindah tugas jadi aku ngikut mereka deh." Lanjutnya. "Pantes namamu "RAMA" tapi kok mukamu bule sih?" tanyaku penuh selidik.
            "Haha..aneh ya?"  Ia tertawa renyah. "Papaku dari Jerman, Mama asli Jogja. Tapi aku sama sekali nggak bisa bahasa Jerman." Ia tertawa, aku juga tertawa, dan lebih tepatnya kami tertawa bersama-sama. 

Hujan mengakrabkan kami. Satu persatu anggota teater mulai muncul dan hujan agak reda. Aroma tanah basah merasuk menuju penciuman. " Ghea, hujan-hujan yuk?" Rama mengajakku hujan-hujan. "Hah, hujan-hujan, aku nggak suka hujan Ram," Kataku sambil memasang muka asam. "Kenapa? Takut basah? Takut masuk angin?" Ia bertanya seperti pengacara. "Enggak, ya nggak suka ajah sama hujan" Kali ini aku menegaskan kata-kataku.
"Aku janji suatu saat aku bakal bikin kamu damai sama hujan." Katanya mantap.
            "Caranya?"
            "Rahasia, udah tenang aja nanti kamu bakalan damai sama hujan"
            "Oke..janji kan" Aku mengacungkan jari kelingking tanda janji telah berlaku.          Kami semakin hari semakin akrab. 

Hingga 3 bulan berlalu, kedekatan kami semakin menjadi. Kami memutuskan untuk bersahabat. Kami berempat, aku, Rama, Metha dan pacarnya yang juga satu sekolah dengan kami. Kami selalu bersama, nonton, shopping, dan juga les. Waktu itu satu minggu sebelum ujian akhir semester. Rama mengajakku jalan-jalan, dan aku mengiyakannya. Di sebuah taman kota dia sedang unjuk kebolehannya bermain sketboard. Rama terlihat keren, ini pertama aku memujinya secara berlebihan.

Suasana mendung tidak menyurutkan semangatnya. Ku lihat di pojokan taman sepasang kekasih sedang bermesraan, memangnya nggak takut ditanggkap satpam ya mereka. Aku hanya geleng-geleng kepala, lantas beralih lagi memperhatikan Rama yang sedang asyik di atas sketboard. "Ram lo pernah jatuh nggak? Sakit nggak?" Ku pasang muka polos sambil memandangnya.

"Ya pernah lah, kalo ditanya sakit apa enggak? Ya jelas sakitlah" Tangannya mengacak-acak poniku. Gemas. "Rama..! Jadi berantakan nih poni gue" Mukaku cemberut bersemu merah. "Elu sih nggemesin" Kali ini mencubit pipiku. Aku hanya meringis kesakitan. Semakin akrabnya kami, kami sudah tidak canggung memanggil "elu-gue".

            "Oh iya kenapa kita nggak bareng-bareng jalan ke tamannya Ram? Kok cuman berdua ?" Tanyaku pada Rama yang kini duduk di sampingku.
            "Karena gue mau ngomong sesuatu sama elu" Rama mengelap keringat di keningnya.
            "Ngomong apaan? Tumben muka lu sok serius gitu" .
            "Gini Ghe, bulan depan ortu gue mau pindah ke Jogja" Nadanya menggantung.
            "Terus..? Lu nggak ikutan pindah kan Ram..??" Kataku sambil menengok wajahnya.
            " Gue ikut mereka pindah Ghe." Kini nadanya melemah.

Sunyi. Aku tak menanggapinya lagi. Kami diam seribu bahasa. 

Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil di depan taman ku lihat sebuah mobil, dan pengemudinya turun seorang gadis cantik bertubuh bagus. Gadis itu melambai ke arah kami. Aku dengan tatapan bingung, menoleh ke arah Rama, dan Rama membalas lambaiannya.

            " Ghe gue udah dijemput, gue pulang duluan ya.?" Sambil tersenyum manis.
            "Iya." Senyum kecut. Ku lihat Rama berlari ke arah gadis itu, Rama mencium pipi kanan-kiri gadis itu.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadaku, terasa sesak. Sejak itu jarang ku temui dia di kelas. Aku murung lagi kembali seperti sediakala menjadi cewek cuek. 

***

Tak ku sangka sudah dua jam aku mandangi hujan di depan jendela yang basah ini. Mengingat semua tentangnya, satu tahun yang lalu. Hujan, aku ingin makluk asing itu hadir lagi. Dia belum menepati janjinya untuk mendamaikanku denganmu. Aku disini di kotanya, tapi aku harus cari kemana sosok aneh itu. 

Rama jika memang kau ingkari, dan kau tak ingin kembali untuk menepati janjimu. Aku akan menyerah. Tapi jika kau ingin kembali kapanpun, aku masih di sini, di kotamu.




Kamis, 15 Agustus 2013

Mawar untuk Dinda



 
diambill dari sini

                Ruangan itu tidak terlalu besar, juga tidak kecil. Ada jendela kaca besar di samping ranjang. Ruangan itu juga tidak terlalu banyak barang. Hanya ada satu buah ranjang berukuran sedang, lemari pakaian kecil, dan juga meja kecil dengan vas bunga. Namun vas bunga itu tidak berisi bunga, kosong.

          Perempuan itu duduk di depan kaca jendela besar. Berlapiskan selimut putih yang lumayan tebal di pangkuannya. Namanya Dinda. Ia mengamati jendela kaca yang menguap akibat hujan yang sedari tadi tak kunjung berhenti, malah semakin menderas. Kedua tangannya memegangi toples usang bekas tempat kue kering entah bermerk apa. Gambar dan merek kue kering itu sudah tertutup karat. Hingga berwarna kecoklatan.
          Dinda masih memandang jendela yang dingin itu, ia masih saja teringat tentang..

          ***

          Sore itu, sore yang sangat cerah. Dinda menikmati secangkir teh di taman samping rumahnya. Taman kecil yang ia idam-idamkan saat masih belum menikah. Kini ia memilikinya, lengkap dengan bunga-bunga kesukaannya. Salah satunya bunga mawar, yang tumbuh subur di taman kecilnya itu. Ada bangku dan meja tempat ia menghabiskan sorenya bersama Bayu, suaminya. Sore itu ia menunggu Bayu sambil menikmati senja dengan minum teh. Tadi pagi Bayu menelefon akan datang terlambat karena rapat sampai sore. Dinda meniup-niup cangkir teh yang masih mengepulkan hawa panas itu. Lalu ia mencecapnya perlahan. 

          Suara mobil Bayu yang baru saja masuk garasi rumah, Dinda selalu hafal. Bahkan hentakkan sepatu pantofelnya, caranya berjalan, tanpa menoleh Dinda yakin yang berjalan ke arahnya itu suaminya Bayu. 

          Dinda membalikkan badannya, dan benar, Bayu berdiri tegap di hadapannya. Berdiri dengan tangan kanan ia masukkan ke dalam saku celana, sudah menjadi kebiasaannya. Dinda berdiri, lalu tersenyum pada suaminya itu, tatapan teduh Bayu selalu membuat Dinda tenang. 

          " Selamat sore cantikku.." Ucap Bayu dengan nada genit. Dinda tersipu malu, lalu mendaratkan sebuah kecupan hangat di pipi Bayu. " Aku punya kejutan, tapi tutup mata dulu ya?" Lanjut Bayu. Dinda mengerutkan dahi. " Kejutan? Ahh seperti anak kecil saja harus tutup mata." Jawab Dinda sambil berkacak pinggang. " Ayolah..pasti kamu suka." Bayu berharap Dinda mau menutup matanya untuk sejenak. " Oke-oke.." Lanjut Dinda sambil menutup matanya. " Tunggu ya...satu..duaa....tiga.... sekarang buka mata..!" Seru Bayu sambil menggenggam sebuket mawar merah di depan Dinda. Dinda terlihat gembira, sampai ia tak sanggup berkata apa-apa.

          Ini bukan pertama kalinya Dinda mendapatkan sebuket mawar merah dari Bayu. Namun ia membuat setiap kejutan dari Bayu adalah istimewa. " Sayang, kan kita sudah punya kebun mawar? Kenapa masih beli?" Dinda memandang suaminya teduh. Bayu tersenyum manis, sembari melangkah, lalu duduk di samping istrinya. Ia mengusap lembut kening Dinda yang lebar itu. " Yang ini spesial. Aku belinya pake cinta lho.." Ujar Bayu bersemangat. " Memangnya ada penjual bunga yang tidak terima uang tapi terima cinta?" Celetuk Dinda, sambil mencubit pipi Bayu. Senja sore itu sungguh indah, mereka berdua menghabiskan sore dengan bercengkrama.

          ***

          Sore itu adalah sore terakhir Dinda bersama suaminya. Keesokkan harinya Bayu pergi ke Kalimantan untuk proyek barunya. Namun saat Dinda menikmati senja tanpa Bayu, ia mendapat kabar buruk. Pesawat yang di tumpangi Bayu menghilang usai terhantam badai. 

          Sejak saat itu Dinda depresi berat. Tidak ada yang bisa menenangkannya. Masih ada sejuta mimpi yang belum terwujud bersama Bayu. Sudah dua tahun, Dinda menikmati senjanya di ruang rumah sakit jiwa ini. Dinda masih menerawang jauh ke jendela yang berembun itu. Ia lalu membuka toples yang sedari dari ia peganggi, dia tersenyum. Kelopak-kelopak mawar yang sudah mengering itu masih ia simpan rapi. Mawar untuknya dari Bayu. Ia mengambil sehelai kelopak mawar kering itu, mengamatinya. Lalu tersenyum. Dinda memang tidak pernah mengamuk, berteriak-teriak layaknya orang gila. Dia hanya diam di depan jendela kaca besar ini tiap kali hujan saat sore hari. Dia hanya marah ketika ada yang menyentuh toples yang berisi mawar kering itu.

Senin, 12 Agustus 2013

Eid Mubarak...!!!! 1

Assalamualaikum.....
Long time no see yaahh...lama tidak posting, kali ini saya akan bercurhat ria seputar puasa dan lebaran saya..:D

Alhamdulillah..tidak terasa sudah 1 bulan kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Bulan puasa tahun ini berbeda bagi saya, tahun kemarin hampir 80% saya di rumah saat puasa, tapi tidak untuk tahun ini. Karena saya kerja, alhasil saya menghabiskan liburan saat puasa di Malang. Saya hanya pulang kerumah awal puasa dan pulang saat H-4 lebaran. Untung saja si abang juga kerja bareng saya, yah lumayan tidak terlalu kesepian. Tapi abang kena musibah saat puasa kemarin, eyang putri yang sakit dan di rawat dirumah sakit untuk beberapa hari di panggil oleh Allah SWT :( abang terpukul banget. Dia pulang ke Nganjuk sehari sebelum eyangnya meninggal. Dia langsung down, kasihan. Yang sabar ya abang. saat abang pulang, otomatis saya harus berangkat kerja sendiri. Setengah 6 pagi jalan kaki, karena angkot belum lewat. Dengan hawa dingin yang nusuk pake banget. Yah untuk beberapa hari, setidaknya juga untuk olahraga pagi lah.Saat abang balik semuanya seperti biasa lagi. Kembali normal, tapi beberapa hari kemudian abang dapet kabar kalau eyang kakung masuk rumah sakit karena stres berat di tinggal eyang putri.. duh abang dia ikutan bingung. Ya sudah akhirnya minggu terakhir kerja abang memutuskan buat ganti shift sama yang lain biar bisa pulang lebih awal. Seharusnya abang pulangnya tanggal 2 sesuai kesepakatan dengan saya. Karena tanggal 1 mau antar saya ambil tiket travel.
      Sebenarnya saya pulang tgl 5, karena abang pulang lebih awal jadwal pulang saya juga di ganti jadi tanggal 4. Ya sudah, untung travelnya bisa ganti jadwal. Abang pulang sebelum gajian. Alhasil gajiannya saya pegang, dan saya dapet gaji pertama saya, alhamdulillah.. . Sebelumnya saya sudah pesan kue lebaran ke temen kakak saya. Gaji pertama saya itu yang sebagian saya buat bayar pesenan kue buat Ibu. Seneng banget rasanya bisa beliin sesuatu buat ibu pakai uang sendiri.
       Tanggal 4 pagi pulang pakai travel. Udah kayak mudik beneran bawa kardus satu, isinya baju sama kue. Terus tas ransel yang isinya laptop dkk. Travel datang tepat jam 8. Dan si sopir memacu kendaraannya dengan sangat cepat, karena saya puasa waktu itu jadiya tidak minum obat anti mabuk. Akhirnya saya menyerah juga, saya mabuk. Rasanya campur aduk kalau lagi lemes terus nggak ada yang merhatiin. Jalanan lumayan rame tapi tidak macet. Alhamdulillah jam 12 lebih saya sampai rumah dengan selamat.
        Alhamdulillah setelah mengikuti sidang isbat di TV, dan besuk harinya sudah lebaran. Ibu mulai sibuk di dapur, saya ikut bantu-bantu. Pindah-pindahin kue-kue ke toples kecil. Setelah itu istirahat. Besoknya bangun pagi banget, sholat subuh terus persiapan buat sholat ied. Si kakak sakit, jadi ibu nungguin kakak dirumah, saya sama Ayah yang ke masjid buat sholat ied. Setelah sholat ied, tradisi sungkeman dimulai. Seperti biasa ibu dan ayah selalu mendoakan supaya kuliah saya lancar. Amiien. Setelah itu para tetangga sekitar rumah berdatangan.

Ini penampakan kue lebaran dirumah saya di sponsori oleh Sibi cake & Cathering
Setelah sepi baru kita yang keliling, karena si kakak sakit dia tidak ikut. Saya, ibu dan ayah. Seperti biasa hari pertama lebaran dirumah dulu keliling ke tetangga-tetangga. Karena di sini tidak punya sodara kelilingnya ke tetangga deket yang di kenal sama ortu. Setelah berkeliling istirahat di rumah sebari berfoto-foto.

Disamping kebun tomat mini di samping rumah.
Saya bersama Ibu.. :*

Ayah dan Ibu... :*

Sama Ayah tercinta...

Weardrobe : Top by Hasenda , Pants by Nevada, Hijab Unbrended



Setelah berfoto-foto mulai berasa laper lagi, yukk mari makan opor buatan ibu tersayang, di jamin mantap. :D


Nah...keliahatan enak banget kan...hoho...
Sudah dulu ya postingan edisi lebaran kali ini besok akan saya sambung dengan Eid Mubarak part 2..

Wasalamualaikum... :)