Kamis, 06 Februari 2014

Untuk Sepercik Kenangan


(from google)

Waktu berjalan lambat mengiring,
Dalam titian takdir hidupku,
Cukup sudah aku tertahan,
Dalam persimpangan masa silamku......
Coba 'tuk melawan getir yang terus kukecap
Meresap ke dalam relung sukmaku......
Coba 'tuk singkirkan aroma nafas tubuhmu
Mengalir mengisi laju darahku.......


    Embun itu perlahan turun, lalu menguap di kaca mobilku. Entah berapa kali aku sangat menikmati suasana pagi, dan pagi ini aku sampai di kota ini, lagi. Setelah 5 tahun aku memutuskan untuk tidak lagi menginjak kota ini. Pada akhirnya aku tak bisa lepas dari hujaman masa lalu yang selalu menghantuiku. Mengingatnya, merindunya selalu menyesakkan dadaku. Walau ku tahu ini bukan kotanya. Walaupun aku tahu aku tidak bisa menemukannya disini.

    Aku menikmati perjalanan ini, sebuah perjalanan untuk menyelesaikan semuanya. Ya semuanya. Setelah semua ini selesai aku akan pergi lagi. Bertahun-tahun aku menyimpan semua ini dengan rapi, menyimpannya di bagian kecil hatiku. Bukankah hati itu terdiri dari bilik-bilik. Selalu ada bilik kecil untuk masa lalu.

    Aku membuka kaca mobilki perlahan, jalanan ini masih sepi hanya ada baberapa mobil barang yang melaju cepat dan mendahului mobilku. Udara sejuk menyeruak. Aku menghirupnya pelan, lalu bayangmu menyusup di antara rimbunan pepohonan.  " Lucky" desisku pelan, aku melambatkan laju mobilku. Menatap bayangmu yang tersenyum di antara pepohonan.

Tiiiiiiiiinnnnn...

Suara klakson mobil di depanku seketika membuyarkanku. Astaga aku hampir saja menambrak mobil itu, segera ku benarkan laju mobilku. Aku menghela nafas, sedikit berat. Bayangmu yang barusaja muncul itu semakin membuatku sesak.

    ***

    Aku menginap di rumah tante Anne di dekat kampusku dulu. Tante Anne sudah seperti sahabatku, aku lebih suka mencurahkan kegalauanku kepada tante Anne, ketimbang harus bercerita dengan mama. Hari ini aku berniat untuk jalan-jalan ke kampus. Walaupun dengan konsekuensi aku harus mengingat kembali semua cerita itu. Walaupun aku tidak akan menemukannya di sana.

    " Ara, sarapannya sudah tante siapkan, di makan ya?" Suara tante Anne terdengar hingga kamarku. Tidak ku jawab, aku segera turun dari lantai atas, lalu mendapati tante Anne sudah bersiap dengan baju kantor yang rapi, ia terlihat anggun.

    " Iya tante, hari ini Ara mau jalan-jalan ke kampus, mau nostalgia" kataku sambil tersenyum lebar, mencoba menyembunyikan sesuatu. " Aduh ada yang mau nostalgia, hati-hati keinget masa lalu lho nanti.." Tante Anne tertawa lebar, lalu meninggalkanku sendiri di ruang makan. Sunyi.

Aku menatap secangkir susu hangat dan roti isi di depanku. Aku bahkan tak bernafsu untuk sekedar mengirup aromanya. Ku tinggalkan mereka di atas meja makan, ku biarkan sarapanku menjadi sarapan lalat atau kucing peliharaan tante Anne.

    Aku kembali ke kamarku. Mengecek ponselku, saat aku melihat daftar di phonebook, aku menahan nafasku untuk beberapa detik. Ada namanya di sana, " Lucky". Aku memegangi dadaku, ada sesak yang mendera. Tatkala semua memori kusut itu kembali berputar dengan sendirinya.

    ***

    Namanya Lucky, aku mengenalnya sewaktu menghadiri sebuah perayaan untuk sebuah organisasi. Kami akrab begitu saja karena kami satu kampus, saat itu aku pergi dengan Nata. Teman satu organisasiku. Dan dia bersama Rara, teman satu organisasinya tentunya. Kami larut dalam tawa. Entah apa yang ku rasakan saat itu, tawanya membuatku merasa nyaman. Garis muka yang tegas itu seketika membuat hatiku bergemuruh hebat.

    Setelah itu, kami hampir tidak bertemu lagi. Sekalipun fakultasnya dan fakultasku sangat dekat. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menghubinginya. Dan kita sepakat bertemu di sebuah lorong yang menghubungkan fakultasku dan fakultasnya. Ia memakai kemeja warna putih, ia melipat kemeja berlengan panjang itu hingga ke siku. Ia tersenyum, aku menghampirinya yang sedang duduk dengan malas.

    " Hay.." kami canggung. Sekalipun aku tahu ia berusaha mengakrabkan diri. Ia membalas senyumku. Manis.
    " Udah selesai kuliahnya?" Tanyanya. " Kosong" jawabku singkat. Aku memutar-mutar ponselku, mencoba mencari kata yang tepat. Namun gagal, lidahku terasa kelu.

    " Udah makan..? aku laper, cari makan yuk..kamu.."
    " Yuk..." Potongku. Seraya berdiri dan tersnyum lebar. Lalu ia bangkit meraih tas ranselnya.

    Kami makan siang di sebuah rumah makan sederhana. Tak banyak yang kami bicarakan, selain masalah organisasi yang kami bawahi. Lalu soal hobinya, fotografi.

    Sampai dia membicarakan seorang perempuan, ketika ku singung soal kekasih.

    " Kamu kenal Tyas kan?"
    " Iya, aku pernah ketemu dengan dia" Perasaanku kini menjadi bercampur aduk, aku mencoba menyiapkan segala konsekuensinya.
    " Kalau saja dia mau kuliah di sini, pasti aku bakal jagain dia" Tangannya kini memainkan ujung rokok yang belum ia nyalakan.

    Lagi-lagi aku menahan nafasku. Sejenak. Aku menghela nafas berat. Suasana tiba-tiba menjadi sunyi. Seperi sebuah pantai tanpa penghuni, hanya deburan ombak. Dan kini hanya gemuruh hatiku. Kami diam.

    " Kalian pernah deket?" Entah kini suaraku tak senyaring tadi.
    " Ya, dia lebih milih kuliah di Jogja. Udah ah nggak udah ngomongin itu lagi. Udah sore pulang yuk?" Kini ku temukan senyum manis itu lagi.

    Itu adalah pertemuan keduaku dengannya. Setelah itu dia seakan menghilang. Hilang dari pandanganku. Aku masih saja berharap bertemu dengannya ketika berangkat kuliah. Nyatanya ia tak menampakkan dirinya. Kami memang tak terlalu akrab, namun rasa rindu itu selalu menghantuiku setiap malam. Entah darimana datangnya rasa itu.

    Dan akhirnya pertemuan ketigaku. Sebuah pertemuan yang tak terduga. Ketika itu, kuliah usai. Aku berjalan melewati parkiran bersama teman-temanku. Aku mendapati sosok yang sangat ku kenal. Celana robek-robek yang ia kenakan dan jaket coklat bertuliskan "Teknik Sipil". Ia menggigit rokok, mencoba menggeluarkan motornya dari deretan motor-motor yang penuh sesak.

    " Lucky...!" Tanpa sadar aku meneriakkan namanya.
    Seketika ia menoleh. Entah itu ekspresi kaget atau apalah. Kini aku berdiri di hadapannya. Tersenyum lebar, rasanya ingin ku peluk tubuh tegap itu.
    " Hey..!" sapanya kemudian. " Tumben, kenapa parkir disini..?" Tanyaku asal.
    " Memang kenapa nggak boleh?" Ahh Lucky, sekalipun kau terlihat acuh. Namun aku bisa melihat mata rindu itu.
    " Ya boleh, eh..kamu kuliah pake celana robek?" Kali ini aku sedikit terusik dengan celana robeknya. Ia hanya tersenyum, menggaruk kepalanya yang mungkin tak gatal.
    " Nanti SMS aku ya ? ku tunggu, aku pergi dulu ya?" Ia menyalakan motornya. Aku hanya mengangguk, sebenarnya aku ingin menatapnya lebih lama. Melihatnya menjauh dengan senyum yang terus mengembang.

    Itu adalah terakhir kali aku melihatnya. Hingga kami hampir menyelesaikan pendidikan kami. Hingga ku putuskan memendam perasaan ini sendiri, dan menempatannya pada ruang kecil di hatiku.

***

    Aku berada disini. Ya di depan gedung Jurusan Teknik Sipil. Bangunan tua itu masih saja tetap sama. Mahasiswa-mahasiswa berjaket coklat yang sedari tadi berlalu lalang membuatku semakin rindu padanya. Aku menatap sebuah lorong yang menjadi saksi bisu pertemuan kami. Bangku marmer itu kini sudah berganti menjadi deretan bangku-bangku panjang.

    Seperti yang ku kira, dia memang tidak disini. Untuk apa pula di bermain-main di bekas jurusannya. Mungkin aku yang sudah gila mencarinya kesini. Ya, mungkin aku sudah gila karena merindunya.

    Aku melewati lorong itu dengan perasaan kalut. Aku mencoba tenang. Di deretan bangku-bangku panjang itu, sekumpulan mahasiswa berjaket coklat sedang bergurau riang bersama teman-temannya. Memangku ransel-ransel besar milik mereka. Kini aku melewati fakultasku, berjalan terus hingga kini aku berada dalam kompleks UKM. Aku ingat ia sangat menggemari fotografi dan dia mengikuti UKM fotografi itu. Di depan sanggar terparkir dengan rapi sebuah VW Combi yang cantik. Di sampingnya ada seorang pemuda, yang perawakannya mirip dengan Lucky. Mungkin hanya mirip.

    Dan ketika ia berbalik, ku dapati garis wajah tegas milik Lucky. Dengan celana robek-robeknya, sebuah camera yang mengalung di lehernya, serta kacamata usang yang ia sematkan pada kaus hitam berlengan pendek itu. Aku tak percaya mendapatinya di sini. Senyumku kini mengembang.

    " Lucky.." panggilku pelan. Seketika ia mendongak.
    " Ara...??" ia berjalan menghampiriku. Tidak ada yang berubah darinya, hanya rambutnya yang pangkas lebih rapi.
    " Kamu ngapain di sini ? kamu masih tinggal di sini? Kerja dimana sekarang?" Sederet pertanyaan yang menghujaniku darinya hanya mampu ku jawab dengan sebuah pelukan. Kini aku tidak bisa berkata apa-apa selain pelukan erat ini. Rindu yang hampir berkarat selama beberapa tahun ini, terbayar sudah.

" Ara...aku nggak...bisa..nafas.." ia terbata.
" Ohh..sorry. baru kemarin aku sampai sini.."
" Ayo sini.." ia menarik tanganku, mengajakku duduk di bawah pohon
yang rindang di depan sanggarnya.
" Kamu masih di sini..? udah kerja?" tanyaku. Bahkan pertanyaannya belum sempat ku jawab.
    " Iya, aku sesekali bantuin si Obid ngajar disini. Aku sekarang udah bikin studio foto sendiri kalau kamu mau main silakan." Jelasnya panjang lebar.
    " Lucky, sebenarnya aku kesini buat nyariin kamu. Ada yang pengen aku omongin.."
    " Hah..? nyariin aku..? memangnya kamu mau ngomong apa Ra?" ia mengerutkan dahinya. Alis tebalnya itu kini bertautan.

    Belum sempat aku mengungkapkan semuanya, mataku menangkpan benda kecil berkilau di antara jarinya, di jari manisnya !

    Oh..tidak..Lucky sudah bertunangan? Tidak...tidak...itu hanya imajinasiku saja..ya hanya imajinasiku. Ini tidak benar. Nafasku sesak. Aku tak percaya semua ini.

    Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
    " Kamu sudah tunangan..?" Nafasku sesak, aku mencoba menahan air mata yang tak sabar ingin tumpah. Aku memeganggi dadaku, menunggu jawaban darinya.

    " Emm..iya.."
    Sebuah jawaban yang membuatku terhenyak. Kini air mataku benar-benar tumpah. Badanku terasa lemas, aku limbung. Ku lihat ia menggoyang-goyangkan badanku. Mungkin ia berteriak, aku tidak bisa mendengar suaranya. Dan semuanya gelap.

    ***

    Aku menghirup aroma minyak angin. Mataku terasa berat untuk terbuka, ketika aku mencoba membukanya sebuah cahaya menyeruak masuk ke dalam penglihatanku. Dan ku dapati sosok Lucky di sampingku. Ia terlihat cemas.

    " Ara..? kamu nggak apa-apa?" Tangannya memegang segelas air putih. " Ini minum dulu Ra." Ia menyodorkan segelas air putih itu. Aku tak banyak bicara hanya menurutinya. Setelah aku merasa semua sudah baik-baik saja, aku memberanikan diri untuk bertanya lagi.

    " Kamu tunangan dengan siapa ?" tanyaku gugup. Ku lihat wajah tegas itu menunduk. Ragu-ragu ia menjawab. " Dengan Tyas.." Suaranya lirih namun tegas.

    Aku tak bisa berkata lagi, selain air mataku yang kembali jatuh. Kini dadaku amat sesak. " Lucky !...kenapa Tyas..? selama ini dia di Jogja kan? Kalian.."
    " Kami pacaran jarak jauh Ra.."
    " Nggak mungkin ! Dulu kamu pernah bilang, kamu nggak percaya pacaran jarak jauh ! Dan karena Tyas kuliah di Jogja !" Aku benar-benar tak bisa mengontrol nada suaraku. Aku tak peduli berapa orang di dalam sanggar fotografi ini. Aku tidak peduli !

    " Kamu tahu Lucky, kenapa aku kesini buat nyari kamu..?"
Lucky hanya diam dan menunduk. Tak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya.
    " Karena selama ini aku nyimpen perasaan ke kamu ! Aku suka sama kamu Lucky ! sejak 7 tahun yang lalu..!"

    Seketika ia mendongak ke arahku, seakan tak percaya apa yang baru saja ku katakan. Bisa ku lihat wajah bingung, cemas bercampur marah. Untuk sepersekian detik hanya isak tangisku yang mendominasi suara di antara kami, di ruangan sanggar yang tak cukup besar ini. Ia memegangi kepalanya, wajah bingungnya masih disana.

    " Sekarang semuanya udah terlambat ! iya kan Luck..?"
    " Aku kesini cuman pengen ngomong ini sama kamu, semuanya udah cukup jelas ! aku permisi.." Ku tinggalkan Lucky yang masih mematung. Dengan pikiran kacau aku berlari meninggalkan sanggar itu. Tak sekalipun aku menengok kebelakang. Namun suara Lucky begitu nyaring, hingga aku pun berhenti.

    " Ara...! maafin aku !" Ku dengar derap langkahnya berlari ke arahku. Ia meraih tanganku. " Kenapa kamu nggak bilang sejak dulu Ara..?" tanyanya, wajah tegas itu berubah sedih. " Kenapa aku baru bilang sekarang ? karena kamu nggak peka !"

    Kutinggalkan ia yang berdiri mematung, aku berlari lagi. Aku tidak memperdulikannya. Sudah cukup aku jujur padanya tentang perasaanku, dan sudah cukup pula aku menerima kenyataan. Bahwa Lucky, sudah mempunyai wanita lain. Sekalipun terasa sakit dan sesak menghimpit dadaku, ia masih disini, di salah satu sudut di hatiku. Ini adalah pertemuan kami yang terakhir.