Jumat, 06 September 2013

Janji Hujan






Aku tak tau sejak kapan aku membenci hujan, entah…
cerita apa yang bisa ku bawa ketika hujan tiba, haruskah aku menari-nari di bawah derasnya hujan? Ah kurasa itu tak lucu. Ada beberapa atau mungkin sebagaian orang sangat menikmati hujan, tapi itu tak berlaku untukku.
Yang pasti aku selalu merasa sendirian jika langit mulai gelap, dan berharap agar angin meniupnya kencang-kencang  dan lenyaplah segumpal  awan hitam itu.

Tapi nyatanya hari ini hujan, deras…
Dan akhirnya kutemukan sendu..

Aku hanya bisa menatapnya dari jendela kamar dengan muka asam. Jendela penuh debu yang nyaris tak pernah aku bersihkan selama setahun ini. Seharusnya aku tidur siang sekarang, jam kuliah yang begitu padat membuat tubuh ini ingin istirahat, tapi aku tak bisa tidur ketika butiran-butiran air langit itu jatuh. Tak tahu kenapa mataku menerawang jauh ke arah awan gelap itu, masih di depan jendela. Ku tatap ia lekat-lekat, ku bagi kisahku padanya, kali ini.

***

Sosok lelaki itu tak pernah ku lihat sebelumnya, tinggi, putih, dan lumayan tampan. Aku tak begitu antusias dengan kedatangan anak baru di sekolahku, biasa saja. Lain lagi dengan teman sebangkuku, bahkan dia sempat hampir mengusirku jika yang datang cowok keren. Hah…sudah gila rupanya temanku ini. 

Dan ketika guru wali kelasku masuk kelas dan membawa sesosok manusia asing ke dalam kelas dan sudah dinanti oleh semua penduduk kelasku kecuali aku. Dan terang saja ketika teman sebangkuku berteriak kegirangan dan sudah ku duga pasti cowok itu keren, menurutnya sih. Aku tak terpengaruh sama sekali dengan kegaduhan kelas yang menjadi, terutama para siswa kaum hawa. Mereka bertriak-teriak layaknya bertemu idola mereka. 

Sedang aku masih terlalu asyik dengan buku tulis di hadapanku. Enggan mencari tahu sumber penyebab kegaduhan kelas tercintaku ini. Aku melanjutkan menulis catatan dari buku Fisika milik Metha yang ku pinjam. Aku tidak masuk kelas kemarin akibatnya aku ketinggalan pelajaran. Hemm..satu hari itu sangat penting bagiku, dan melewatkannya sehari saja bagiku adalah penyesalan besar-besaran. 

Masa SMA yang sangat membahagiakan, ya sejauh ini masih normal-normal saja. Aku punya sahabat yang super duper lemot, tapi anehnya dia sangat nyantol dalam hal pelajaran. Kami sebangku sejak kelas 1 sampai kelas 2 ini, kita selalu sama-sama, tiada hari tanpa ngrumpi dengannya. Mulai ngomongin guru-guru yang nyebelin, adik kelas yang sok akrab plus sok kecantikkan sampai ngomentarin masakan buk Inah salah satu penjual di kantin sekolah. Warung buk Inah jadi favorit kita buat nongkrong, sarapan, makan saat jam istirahat atau sekedar minum es saat jam pelajaran kosong. 

Oke fine, kita balik lagi ke kegaduhan kelas diakibatkan mahkluk asing penghuni baru kelas. Aku masih belum tergoda untuk mencari sosok asing itu. Aku masih sibuk menulis rumus tidak jelas ini. Tiba-tiba Metha mencubitku denga keras. 

"Apa-apaan sih lu Met..sakit tau!" Aku meringis menahan sakit, sambil mengusap-usap lenganku yang memerah. "Itu Ghe..cowok gan..teeng.." Metha terbata. Mukanya bersemu merah jambu, dengan kulit putih seputih china. Mulut Metha berbentuk huruf "U", dengan tangan kanannya meremas lengan kiriku, sedang tangan kirinya memegang pipinya.

Karena cubitan dan remasan tangan Metha yang mampu membuat lenganku merah mirip luka KDRT yang di lakukakn para artis. Akhirnya aku terpaksa menoleh mencari makhluk yang dimaksud. Ku lihat pak Wili wali kelas kami berdiri yang senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya yang membuat kami semua silau. Ia berdiri bersama makhluk asing itu, tinggi, kurus, rambut agak pirang dengan gaya anak muda yang gaul abis, kulit putih. Aku mengamatinya mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah apa yang tiba-tiba membuatku tertarik mengamati makhluk satu ini.

Akupun mulai memberanikan bertanya namanya pada Metha, "Namanya siapa?" Sambil mendorong lemah lengan atasnya. Sedang mataku masih mengamati sosok aneh itu. Ya aku bilang aneh, karena rambutnya itu. Metha sepertinya memandangi mukaku yang penasaran. "Eh bentar tumben lu penasaran sama makhluk asing?" Metha bermuka kaget masih memandangku dengan bentuk mulut yang aneh.
Aku balik memandangnya dengan muka yang tak kalah aneh darinya, dua detik, lima detik, 10 detik, aku mulai berpikir benar juga kenapa aku tertarik dengan makhluk asing itu? Sedang selama ini aku benar-benar sangat tidak tertarik sama sekali dengan murid baru. Melihatku yang sedang bengong Metha tampaknya sedikit khawatir mungkin takut aku dirasuki setan pohon beringin belakang sekolah yang ditebang tempo hari, " Ghea...lu nggak kenapa-kenapa kan?" tanyanya pelan, sambil melambai-lambaikan tanganya di depan mukaku.

"Enggak kok nggak kenapa-kenapa, ya gue kan cuman penasaran." Jawabku sekenanya sambil kembali menulis rumus-rumus tidak jelas itu. "Namanya Rama, Ghe," Metha berbisik padaku dengan mata yang masih tertuju pada makluk bernama "Rama". Aku hanya melihatnya sekilas.

Riuh kelas menyambut makluk asing itu, terlihat sekilas dia melewati bangkuku. Dia sepertinya duduk di belakang, aku tidak berniat untuk menengoknya.

***

Baru saja aku turun dari mobil, berpamitan dengan Mama dan Dion adikku satu-satunya yang masih duduk dibangku SD. Dari belakang Metha berlari seperti dikejar monyet. " Ghea...Ghea....tungguin!" terdengar nafasnya terengah-enggah.

Ah, pasti gosip infotaiment terbaru deh. Aku hanya menoleh ringan, seraya memasang senyum selamat pagi yang sangat ramah, khusus untuk Metha " Ada apa sih, dikejar monyetnya si Maman?" gosipnya nih ya konon si Maman temen sekelasku yang paling aneh itu punya seekor monyet. Demen banget ngejar-ngejar cewek cantik macam Metha. Eh tunggu emangnya monyet ngerti mana cewek yang cantik dan mana cewek yang jelek. 

"Bentar-bentar.. gue nafas dulu, capek" Metha terngengah, sambil memegangi dadanya. "Lagian elu sih lari pagi pas berangkat sekolah" tungkasku seraya berjalan menuju gerbang sekolah. 

"Heyy Ghe..tunggu dong"
            " Kenapa Metha sayang, gosip baru ya"
            " Ini bukan gosip, tapi fakta." Mukanya mulai sok serius dengan nada suara menurun.
            " Hah, apaan?" tanyaku pendek.
            " Si Rama Ghe, dia mau masuk eskul teater, eskul lu" Kini mukanya berubah berseri-seri.
            "What..nggak salah dia ikut eskul teater? Bisa apa dia?" Mukaku mulai menunjukkan rasa yang sangat amat tidak senang akan kehadirannya di eskul teater yang aku pimpin.
            "Eh jangan salah kata anak-anak dia juaranya teater!" Metha mulai antusias bergosip.
            "Oke kita lihat saja nanti, bisa ngalahi gue nggak dia?" , tanganku berkacak pinggang berlagak seperti jagoan yang sedang menantang musuh.

Tet...tet...tett...

            Bel telah berbunyi tandanya para murid bersiap menerima asupan gizi sebuah pembelajaran yang membosankan. Kami bergegas ke kelas tidak mau terlambat. Karena ini waktunya Pak Rahman guru Matematika yang super duper bawel.

***

Hari kamis sore ini waktunya latihan teater buat acara perpisahan kelas 3. Berhubung aku jadi ketua tahun ajaran baru ini, pasti bakalan sibuk banget. Si Metha malah ngajakin ke Mall buat shopping, dasar shoppa holic. Aku harus nyiapin anak-anak buat latihan, anak-anak lama sama yang baru. Anak lama kebagian pemain inti, dan yang baru jadi figuran. Kan mereka masih amatir. Termasuk si aneh Rama.

"Rendi, lu bisa sebarin info nggak ke anak-anak teater, nanti sore latihan jam 3." Kataku pada Rendi wakilku di teater. Rendi yang sedang asyik makan mie ayam di kantin hanya menjawab, he eh-he eh saja dengan mulut penuh mie. "Harus on time ya? Anak-anak baru juga harus dateng!" tambahku sambil menyuapkan sesendok nasi uduk ke dalam mulut. Metha yang duduk di sebelahku juga sedang asyik menikmati mie ayam. Kantin ini penuh sesak masakan buk Inah emang juara. Ku pandang sekeliling kantin kesayangan ini, didominasi kelas 2 hampir 80% pengunjung kantin ini hanya kelas 2. Mungkin karena kantin ini lebih dekat dengan kompleks kelas 2 daripada kelas 1 atau kelas 3.

Istirahat terakhir ini memang penuh perjuangan untuk mendapatkan sepiring nasi. Karena terkadang sudah habis saat istirahat pertama sedang berlangsung. "Huaah pedes...ambilin kecap dong Ghe!" Metha mendesah kepedesan. Aku hanya tertawa dalam hati. Udah tau nggak doyan pedes masih aja ambil sambel sesendok. "Nih.." Sambil menyodorkan sebotol besar kecap pada Metha. Muka Metha terlihat merah padam seperti lampu trafic light tanda semua kendaraan harus berhenti.

"Eh Ghe nanti sore lu latihan ya?"
            "Iya..emang kenapa?" jawabku pendek sambil meneguk segelas es Degan segar.
            "Gue ikutan dong, gue pengen liat si Rama akting" 

Sudah aku terka pasti Metha akan memintaku mengajaknya untuk melihat Rama, apa bagusnya Rama sih? Cowok aneh, muka bule tapi nama Jawa. Sejenak aku berpikir untuk permintaan Metha. "Oke deh, tapi lu jangan ngrecokin latihan gue!" tungkasku pada Metha yang masih kepedesan.

Mendung menggelayut di langit kota Bandung, aku masih duduk di depan sanggar. Jam 1 siang aku tidak berencana untuk pulang, karena jika aku pulang sudah pasti tidak ada yang mengantarku balik ke sekolah. Mama belum pulang dari kantor. 

Ku tatap langit mendung itu dengan muka asam, bengong di depan sanggar tanpa tahu harus berbuat apa. Ku lihat kakiku yang memainkan sepatu, sesekali menggaruk-nggaruk lantai yang kasar. Berharap mendapat inspirasi, tapi nyatanya. Kosong.

Aku segera menyibukkan diri sebelum mati bosan. Entah bagaimana bentuknya orang mati bosan ya? Ah, aku ini hanya bisa menghayal yang tidak-tidak. Aku memutuskan untuk masuk saja ke dalam sanggar. Ku buka laptop warna pink milikku memutar setengah kencang beberapa lagu milik Taylor Swift. Agar tak terlalu sepi suasana di sanggar yang penghuninya hanya aku. 

Mendung semakin menghitam, dan ketabahan hatiku untuk menunggu anak-anak untuk latihanpun runtuh. Ketika hujan mulai turun. Pasti anak-anak tidak akan datang dengan keadaan hujan deras. Sekalipun mereka menyebut bahwa hujan itu romantis. Tapi kalau disuruh pilih antara latihan atau tidur di saat hujan. Yakin 100 persen mereka bakal pilih tidur nyenyak mengurung diri di balik selimut tebal.

Terdengar suara mobil sedang berhenti, ku alihkan pandanganku keluar ruangan. Mobil itu belum pernah ku lihat disekolah ini. Bukan milik Metha atau milik Mama. Dahiku mengerut mencari tahu siapa yang menungganginya. Dan...oh my...itu kan Rama..pekikku dalam hati, tak tahu harus senang atau sedih. Ia berlari kecil, takut kehujanan. 

Ia membersihkan bajunya yang sedikit basah. Merapikan rambutnya yang tidak beraturan. "Tadi Metha SMS aku katanya kamu sendirian di sanggar, makanya aku langsung kesini", katanya seraya memasang senyum lebar-lebar. "Aku khawatir sama kamu, kalau ada apa-apa" masih tersenyum manis.

 Aku tidak menjawabnya, aku terpana, mulutku terkunci rapat. Bukan karena pesonanya, tapi perkataannya yang baru saja ia lontarkan. Sebegitu khawatirkah dia padaku? Aku masih sibuk mencerna apa yang ku dengar.

"Ghe..? Haluu.." Tangannya melayang-layang di depan mukaku. Sesegera mungkin aku sadar dari bius kata-katanya. "Oh iyaa Ram, makasih ya? Kenapa repot-repot kesini kan latihannya masih ntar sore?" Ku tatap jam dinding di atas lemari menunjukkan pukul 14.00. "Ya nggak apa-apa dong sambil maen aja, nemenin kamu juga" Jawabnya masih sambil tersenyum.

Kami terlihat canggung, bahkan kami memanggil "aku-kamu" yang biasanya jika berbicara dengan Metha "loe-gue". Apa –apaan ini aku salah tingkah, apa yang terjadi. Waktu dan suasana menyudutkan hatiku. Dan hujan semakin deras, tapi petir tidak kadang kali ini. Aku sedikit lega.

Dia berkeliling ruangan, mengamati benda-benda di sanggar ini. Sanggar yang tidak terlalu luas tapi cukup untuk latihan sehari-hari. "Itu foto waktu kita pentas di taman kota" kataku bersemangat menjelaskan setiap foto yang ia amati."kalau yang ini ?" ia menunjuk sebuah foto. "Itu bang Boim sama bu Fara. Bang Boim itu senior kita dia sekarang kelas 3, terus bu Fara itu penanggung jawab eskul teater ini."

"Kamu pindahan dari mana sih Ram?" Pertanyaan yang tolol, jelas-jelas kita sekelas tapi aku tidak tahu di darimana.
            "Kamu parah ya Ghe..." Sahutnya sambil menggaruk-nggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal, berjalan menunjuk tempat dimana aku duduk manis. "Aku dari Jogja, ortu pindah tugas jadi aku ngikut mereka deh." Lanjutnya. "Pantes namamu "RAMA" tapi kok mukamu bule sih?" tanyaku penuh selidik.
            "Haha..aneh ya?"  Ia tertawa renyah. "Papaku dari Jerman, Mama asli Jogja. Tapi aku sama sekali nggak bisa bahasa Jerman." Ia tertawa, aku juga tertawa, dan lebih tepatnya kami tertawa bersama-sama. 

Hujan mengakrabkan kami. Satu persatu anggota teater mulai muncul dan hujan agak reda. Aroma tanah basah merasuk menuju penciuman. " Ghea, hujan-hujan yuk?" Rama mengajakku hujan-hujan. "Hah, hujan-hujan, aku nggak suka hujan Ram," Kataku sambil memasang muka asam. "Kenapa? Takut basah? Takut masuk angin?" Ia bertanya seperti pengacara. "Enggak, ya nggak suka ajah sama hujan" Kali ini aku menegaskan kata-kataku.
"Aku janji suatu saat aku bakal bikin kamu damai sama hujan." Katanya mantap.
            "Caranya?"
            "Rahasia, udah tenang aja nanti kamu bakalan damai sama hujan"
            "Oke..janji kan" Aku mengacungkan jari kelingking tanda janji telah berlaku.          Kami semakin hari semakin akrab. 

Hingga 3 bulan berlalu, kedekatan kami semakin menjadi. Kami memutuskan untuk bersahabat. Kami berempat, aku, Rama, Metha dan pacarnya yang juga satu sekolah dengan kami. Kami selalu bersama, nonton, shopping, dan juga les. Waktu itu satu minggu sebelum ujian akhir semester. Rama mengajakku jalan-jalan, dan aku mengiyakannya. Di sebuah taman kota dia sedang unjuk kebolehannya bermain sketboard. Rama terlihat keren, ini pertama aku memujinya secara berlebihan.

Suasana mendung tidak menyurutkan semangatnya. Ku lihat di pojokan taman sepasang kekasih sedang bermesraan, memangnya nggak takut ditanggkap satpam ya mereka. Aku hanya geleng-geleng kepala, lantas beralih lagi memperhatikan Rama yang sedang asyik di atas sketboard. "Ram lo pernah jatuh nggak? Sakit nggak?" Ku pasang muka polos sambil memandangnya.

"Ya pernah lah, kalo ditanya sakit apa enggak? Ya jelas sakitlah" Tangannya mengacak-acak poniku. Gemas. "Rama..! Jadi berantakan nih poni gue" Mukaku cemberut bersemu merah. "Elu sih nggemesin" Kali ini mencubit pipiku. Aku hanya meringis kesakitan. Semakin akrabnya kami, kami sudah tidak canggung memanggil "elu-gue".

            "Oh iya kenapa kita nggak bareng-bareng jalan ke tamannya Ram? Kok cuman berdua ?" Tanyaku pada Rama yang kini duduk di sampingku.
            "Karena gue mau ngomong sesuatu sama elu" Rama mengelap keringat di keningnya.
            "Ngomong apaan? Tumben muka lu sok serius gitu" .
            "Gini Ghe, bulan depan ortu gue mau pindah ke Jogja" Nadanya menggantung.
            "Terus..? Lu nggak ikutan pindah kan Ram..??" Kataku sambil menengok wajahnya.
            " Gue ikut mereka pindah Ghe." Kini nadanya melemah.

Sunyi. Aku tak menanggapinya lagi. Kami diam seribu bahasa. 

Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil di depan taman ku lihat sebuah mobil, dan pengemudinya turun seorang gadis cantik bertubuh bagus. Gadis itu melambai ke arah kami. Aku dengan tatapan bingung, menoleh ke arah Rama, dan Rama membalas lambaiannya.

            " Ghe gue udah dijemput, gue pulang duluan ya.?" Sambil tersenyum manis.
            "Iya." Senyum kecut. Ku lihat Rama berlari ke arah gadis itu, Rama mencium pipi kanan-kiri gadis itu.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadaku, terasa sesak. Sejak itu jarang ku temui dia di kelas. Aku murung lagi kembali seperti sediakala menjadi cewek cuek. 

***

Tak ku sangka sudah dua jam aku mandangi hujan di depan jendela yang basah ini. Mengingat semua tentangnya, satu tahun yang lalu. Hujan, aku ingin makluk asing itu hadir lagi. Dia belum menepati janjinya untuk mendamaikanku denganmu. Aku disini di kotanya, tapi aku harus cari kemana sosok aneh itu. 

Rama jika memang kau ingkari, dan kau tak ingin kembali untuk menepati janjimu. Aku akan menyerah. Tapi jika kau ingin kembali kapanpun, aku masih di sini, di kotamu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar