Kamis, 15 Agustus 2013

Mawar untuk Dinda



 
diambill dari sini

                Ruangan itu tidak terlalu besar, juga tidak kecil. Ada jendela kaca besar di samping ranjang. Ruangan itu juga tidak terlalu banyak barang. Hanya ada satu buah ranjang berukuran sedang, lemari pakaian kecil, dan juga meja kecil dengan vas bunga. Namun vas bunga itu tidak berisi bunga, kosong.

          Perempuan itu duduk di depan kaca jendela besar. Berlapiskan selimut putih yang lumayan tebal di pangkuannya. Namanya Dinda. Ia mengamati jendela kaca yang menguap akibat hujan yang sedari tadi tak kunjung berhenti, malah semakin menderas. Kedua tangannya memegangi toples usang bekas tempat kue kering entah bermerk apa. Gambar dan merek kue kering itu sudah tertutup karat. Hingga berwarna kecoklatan.
          Dinda masih memandang jendela yang dingin itu, ia masih saja teringat tentang..

          ***

          Sore itu, sore yang sangat cerah. Dinda menikmati secangkir teh di taman samping rumahnya. Taman kecil yang ia idam-idamkan saat masih belum menikah. Kini ia memilikinya, lengkap dengan bunga-bunga kesukaannya. Salah satunya bunga mawar, yang tumbuh subur di taman kecilnya itu. Ada bangku dan meja tempat ia menghabiskan sorenya bersama Bayu, suaminya. Sore itu ia menunggu Bayu sambil menikmati senja dengan minum teh. Tadi pagi Bayu menelefon akan datang terlambat karena rapat sampai sore. Dinda meniup-niup cangkir teh yang masih mengepulkan hawa panas itu. Lalu ia mencecapnya perlahan. 

          Suara mobil Bayu yang baru saja masuk garasi rumah, Dinda selalu hafal. Bahkan hentakkan sepatu pantofelnya, caranya berjalan, tanpa menoleh Dinda yakin yang berjalan ke arahnya itu suaminya Bayu. 

          Dinda membalikkan badannya, dan benar, Bayu berdiri tegap di hadapannya. Berdiri dengan tangan kanan ia masukkan ke dalam saku celana, sudah menjadi kebiasaannya. Dinda berdiri, lalu tersenyum pada suaminya itu, tatapan teduh Bayu selalu membuat Dinda tenang. 

          " Selamat sore cantikku.." Ucap Bayu dengan nada genit. Dinda tersipu malu, lalu mendaratkan sebuah kecupan hangat di pipi Bayu. " Aku punya kejutan, tapi tutup mata dulu ya?" Lanjut Bayu. Dinda mengerutkan dahi. " Kejutan? Ahh seperti anak kecil saja harus tutup mata." Jawab Dinda sambil berkacak pinggang. " Ayolah..pasti kamu suka." Bayu berharap Dinda mau menutup matanya untuk sejenak. " Oke-oke.." Lanjut Dinda sambil menutup matanya. " Tunggu ya...satu..duaa....tiga.... sekarang buka mata..!" Seru Bayu sambil menggenggam sebuket mawar merah di depan Dinda. Dinda terlihat gembira, sampai ia tak sanggup berkata apa-apa.

          Ini bukan pertama kalinya Dinda mendapatkan sebuket mawar merah dari Bayu. Namun ia membuat setiap kejutan dari Bayu adalah istimewa. " Sayang, kan kita sudah punya kebun mawar? Kenapa masih beli?" Dinda memandang suaminya teduh. Bayu tersenyum manis, sembari melangkah, lalu duduk di samping istrinya. Ia mengusap lembut kening Dinda yang lebar itu. " Yang ini spesial. Aku belinya pake cinta lho.." Ujar Bayu bersemangat. " Memangnya ada penjual bunga yang tidak terima uang tapi terima cinta?" Celetuk Dinda, sambil mencubit pipi Bayu. Senja sore itu sungguh indah, mereka berdua menghabiskan sore dengan bercengkrama.

          ***

          Sore itu adalah sore terakhir Dinda bersama suaminya. Keesokkan harinya Bayu pergi ke Kalimantan untuk proyek barunya. Namun saat Dinda menikmati senja tanpa Bayu, ia mendapat kabar buruk. Pesawat yang di tumpangi Bayu menghilang usai terhantam badai. 

          Sejak saat itu Dinda depresi berat. Tidak ada yang bisa menenangkannya. Masih ada sejuta mimpi yang belum terwujud bersama Bayu. Sudah dua tahun, Dinda menikmati senjanya di ruang rumah sakit jiwa ini. Dinda masih menerawang jauh ke jendela yang berembun itu. Ia lalu membuka toples yang sedari dari ia peganggi, dia tersenyum. Kelopak-kelopak mawar yang sudah mengering itu masih ia simpan rapi. Mawar untuknya dari Bayu. Ia mengambil sehelai kelopak mawar kering itu, mengamatinya. Lalu tersenyum. Dinda memang tidak pernah mengamuk, berteriak-teriak layaknya orang gila. Dia hanya diam di depan jendela kaca besar ini tiap kali hujan saat sore hari. Dia hanya marah ketika ada yang menyentuh toples yang berisi mawar kering itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar