Aku tak tau sejak kapan aku membenci hujan, entah…
cerita apa yang bisa ku bawa ketika hujan tiba, haruskah aku menari-nari di bawah
derasnya hujan? Ah kurasa itu tak lucu. Ada beberapa atau mungkin sebagaian
orang sangat menikmati hujan, tapi itu tak berlaku untukku.
Yang pasti aku selalu merasa sendirian jika
langit mulai gelap, dan berharap agar angin meniupnya kencang-kencang dan lenyaplah segumpal awan hitam itu.
Tapi nyatanya hari ini hujan, deras…
Dan akhirnya kutemukan sendu..
Aku hanya bisa menatapnya dari jendela kamar
dengan muka asam. Jendela penuh debu yang nyaris tak pernah aku bersihkan
selama setahun ini. Seharusnya aku tidur siang sekarang, jam kuliah yang begitu
padat membuat tubuh ini ingin istirahat, tapi aku tak bisa tidur ketika
butiran-butiran air langit itu jatuh. Tak tahu kenapa mataku menerawang jauh ke
arah awan gelap itu, masih di depan jendela. Ku tatap ia lekat-lekat, ku bagi
kisahku padanya, kali ini.
***
Sosok lelaki itu tak pernah ku lihat
sebelumnya, tinggi, putih, dan lumayan tampan. Aku tak begitu antusias dengan
kedatangan anak baru di sekolahku, biasa saja. Lain lagi dengan teman
sebangkuku, bahkan dia sempat hampir mengusirku jika yang datang cowok keren. Hah…sudah
gila rupanya temanku ini.
Dan ketika guru wali kelasku masuk kelas dan
membawa sesosok manusia asing ke dalam kelas dan sudah dinanti oleh semua
penduduk kelasku kecuali aku. Dan terang saja ketika teman sebangkuku berteriak
kegirangan dan sudah ku duga pasti cowok itu keren, menurutnya sih. Aku tak
terpengaruh sama sekali dengan kegaduhan kelas yang menjadi, terutama para
siswa kaum hawa. Mereka bertriak-teriak layaknya bertemu idola mereka.
Sedang aku masih terlalu asyik dengan buku tulis
di hadapanku. Enggan mencari tahu sumber penyebab kegaduhan kelas tercintaku
ini. Aku melanjutkan menulis catatan dari buku Fisika milik Metha yang ku
pinjam. Aku tidak masuk kelas kemarin akibatnya aku ketinggalan pelajaran.
Hemm..satu hari itu sangat penting bagiku, dan melewatkannya sehari saja bagiku
adalah penyesalan besar-besaran.
Masa SMA yang sangat membahagiakan, ya sejauh
ini masih normal-normal saja. Aku punya sahabat yang super duper lemot, tapi
anehnya dia sangat nyantol dalam hal
pelajaran. Kami sebangku sejak kelas 1 sampai kelas 2 ini, kita selalu
sama-sama, tiada hari tanpa ngrumpi dengannya. Mulai ngomongin guru-guru yang
nyebelin, adik kelas yang sok akrab plus sok kecantikkan sampai ngomentarin
masakan buk Inah salah satu penjual di kantin sekolah. Warung buk Inah jadi
favorit kita buat nongkrong, sarapan, makan saat jam istirahat atau sekedar
minum es saat jam pelajaran kosong.
Oke fine, kita balik lagi ke kegaduhan kelas
diakibatkan mahkluk asing penghuni baru kelas. Aku masih belum tergoda untuk
mencari sosok asing itu. Aku masih sibuk menulis rumus tidak jelas ini.
Tiba-tiba Metha mencubitku denga keras.
"Apa-apaan sih lu Met..sakit tau!" Aku
meringis menahan sakit, sambil mengusap-usap lenganku yang memerah. "Itu
Ghe..cowok gan..teeng.." Metha terbata. Mukanya bersemu merah jambu,
dengan kulit putih seputih china. Mulut Metha berbentuk huruf "U",
dengan tangan kanannya meremas lengan kiriku, sedang tangan kirinya memegang
pipinya.
Karena cubitan dan remasan tangan Metha yang
mampu membuat lenganku merah mirip luka KDRT yang di lakukakn para artis.
Akhirnya aku terpaksa menoleh mencari makhluk yang dimaksud. Ku lihat pak Wili
wali kelas kami berdiri yang senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya yang
membuat kami semua silau. Ia berdiri bersama makhluk asing itu, tinggi, kurus,
rambut agak pirang dengan gaya anak muda yang gaul abis, kulit putih. Aku
mengamatinya mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah apa yang
tiba-tiba membuatku tertarik mengamati makhluk satu ini.
Akupun mulai memberanikan bertanya namanya pada
Metha, "Namanya siapa?" Sambil mendorong lemah lengan atasnya. Sedang
mataku masih mengamati sosok aneh itu. Ya aku bilang aneh, karena rambutnya
itu. Metha sepertinya memandangi mukaku yang penasaran. "Eh bentar tumben
lu penasaran sama makhluk asing?" Metha bermuka kaget masih memandangku
dengan bentuk mulut yang aneh.
Aku balik memandangnya dengan muka yang tak
kalah aneh darinya, dua detik, lima detik, 10 detik, aku mulai berpikir benar
juga kenapa aku tertarik dengan makhluk asing itu? Sedang selama ini aku
benar-benar sangat tidak tertarik sama sekali dengan murid baru. Melihatku yang
sedang bengong Metha tampaknya sedikit khawatir mungkin takut aku dirasuki
setan pohon beringin belakang sekolah yang ditebang tempo hari, "
Ghea...lu nggak kenapa-kenapa kan?" tanyanya pelan, sambil
melambai-lambaikan tanganya di depan mukaku.
"Enggak kok nggak kenapa-kenapa, ya gue
kan cuman penasaran." Jawabku sekenanya sambil kembali menulis rumus-rumus
tidak jelas itu. "Namanya Rama, Ghe," Metha berbisik padaku dengan
mata yang masih tertuju pada makluk bernama "Rama". Aku hanya
melihatnya sekilas.
Riuh kelas menyambut makluk asing itu, terlihat
sekilas dia melewati bangkuku. Dia sepertinya duduk di belakang, aku tidak
berniat untuk menengoknya.
***
Baru saja aku turun dari mobil, berpamitan
dengan Mama dan Dion adikku satu-satunya yang masih duduk dibangku SD. Dari
belakang Metha berlari seperti dikejar monyet. "
Ghea...Ghea....tungguin!" terdengar nafasnya terengah-enggah.
Ah, pasti gosip infotaiment terbaru deh. Aku
hanya menoleh ringan, seraya memasang senyum selamat pagi yang sangat ramah,
khusus untuk Metha " Ada apa sih, dikejar monyetnya si Maman?"
gosipnya nih ya konon si Maman temen sekelasku yang paling aneh itu punya
seekor monyet. Demen banget ngejar-ngejar cewek cantik macam Metha. Eh tunggu
emangnya monyet ngerti mana cewek yang cantik dan mana cewek yang jelek.
"Bentar-bentar.. gue nafas dulu,
capek" Metha terngengah, sambil memegangi dadanya. "Lagian elu sih
lari pagi pas berangkat sekolah" tungkasku seraya berjalan menuju gerbang
sekolah.
"Heyy Ghe..tunggu dong"
" Kenapa Metha sayang,
gosip baru ya"
" Ini bukan gosip, tapi
fakta." Mukanya mulai sok serius dengan nada suara menurun.
" Hah, apaan?"
tanyaku pendek.
" Si Rama Ghe, dia mau
masuk eskul teater, eskul lu" Kini mukanya berubah berseri-seri.
"What..nggak salah dia
ikut eskul teater? Bisa apa dia?" Mukaku mulai menunjukkan rasa yang
sangat amat tidak senang akan kehadirannya di eskul teater yang aku pimpin.
"Eh jangan salah kata
anak-anak dia juaranya teater!" Metha mulai antusias bergosip.
"Oke kita lihat saja
nanti, bisa ngalahi gue nggak dia?" , tanganku berkacak pinggang berlagak
seperti jagoan yang sedang menantang musuh.
Tet...tet...tett...
Bel telah berbunyi tandanya
para murid bersiap menerima asupan gizi sebuah pembelajaran yang membosankan.
Kami bergegas ke kelas tidak mau terlambat. Karena ini waktunya Pak Rahman guru
Matematika yang super duper bawel.
***
Hari kamis sore ini waktunya latihan teater
buat acara perpisahan kelas 3. Berhubung aku jadi ketua tahun ajaran baru ini,
pasti bakalan sibuk banget. Si Metha malah ngajakin ke Mall buat shopping,
dasar shoppa holic. Aku harus nyiapin anak-anak buat latihan, anak-anak lama
sama yang baru. Anak lama kebagian pemain inti, dan yang baru jadi figuran. Kan
mereka masih amatir. Termasuk si aneh Rama.
"Rendi, lu bisa sebarin info nggak ke
anak-anak teater, nanti sore latihan jam 3." Kataku pada Rendi wakilku di
teater. Rendi yang sedang asyik makan mie ayam di kantin hanya menjawab, he
eh-he eh saja dengan mulut penuh mie. "Harus on time ya? Anak-anak baru
juga harus dateng!" tambahku sambil menyuapkan sesendok nasi uduk ke dalam
mulut. Metha yang duduk di sebelahku juga sedang asyik menikmati mie ayam.
Kantin ini penuh sesak masakan buk Inah emang juara. Ku pandang sekeliling
kantin kesayangan ini, didominasi kelas 2 hampir 80% pengunjung kantin ini
hanya kelas 2. Mungkin karena kantin ini lebih dekat dengan kompleks kelas 2
daripada kelas 1 atau kelas 3.
Istirahat terakhir ini memang penuh perjuangan
untuk mendapatkan sepiring nasi. Karena terkadang sudah habis saat istirahat
pertama sedang berlangsung. "Huaah pedes...ambilin kecap dong Ghe!"
Metha mendesah kepedesan. Aku hanya tertawa dalam hati. Udah tau nggak doyan
pedes masih aja ambil sambel sesendok. "Nih.." Sambil menyodorkan
sebotol besar kecap pada Metha. Muka Metha terlihat merah padam seperti lampu
trafic light tanda semua kendaraan harus berhenti.
"Eh Ghe nanti sore lu latihan ya?"
"Iya..emang kenapa?"
jawabku pendek sambil meneguk segelas es Degan segar.
"Gue ikutan dong, gue
pengen liat si Rama akting"
Sudah aku terka pasti Metha akan memintaku mengajaknya untuk melihat Rama, apa
bagusnya Rama sih? Cowok aneh, muka bule tapi nama Jawa. Sejenak aku berpikir
untuk permintaan Metha. "Oke deh, tapi lu jangan ngrecokin latihan gue!"
tungkasku pada Metha yang masih kepedesan.
Mendung menggelayut di langit kota Bandung, aku
masih duduk di depan sanggar. Jam 1 siang aku tidak berencana untuk pulang,
karena jika aku pulang sudah pasti tidak ada yang mengantarku balik ke sekolah.
Mama belum pulang dari kantor.
Ku tatap langit mendung itu dengan muka asam,
bengong di depan sanggar tanpa tahu harus berbuat apa. Ku lihat kakiku yang
memainkan sepatu, sesekali menggaruk-nggaruk lantai yang kasar. Berharap
mendapat inspirasi, tapi nyatanya. Kosong.
Aku segera menyibukkan diri sebelum mati bosan.
Entah bagaimana bentuknya orang mati bosan ya? Ah, aku ini hanya bisa menghayal
yang tidak-tidak. Aku memutuskan untuk masuk saja ke dalam sanggar. Ku buka
laptop warna pink milikku memutar setengah kencang beberapa lagu milik Taylor
Swift. Agar tak terlalu sepi suasana di sanggar yang penghuninya hanya aku.
Mendung semakin menghitam, dan ketabahan hatiku
untuk menunggu anak-anak untuk latihanpun runtuh. Ketika hujan mulai turun. Pasti
anak-anak tidak akan datang dengan keadaan hujan deras. Sekalipun mereka
menyebut bahwa hujan itu romantis. Tapi kalau disuruh pilih antara latihan atau
tidur di saat hujan. Yakin 100 persen mereka bakal pilih tidur nyenyak mengurung
diri di balik selimut tebal.
Terdengar suara mobil sedang berhenti, ku alihkan
pandanganku keluar ruangan. Mobil itu belum pernah ku lihat disekolah ini.
Bukan milik Metha atau milik Mama. Dahiku mengerut mencari tahu siapa yang
menungganginya. Dan...oh my...itu kan Rama..pekikku dalam hati, tak tahu harus
senang atau sedih. Ia berlari kecil, takut kehujanan.
Ia membersihkan bajunya yang sedikit basah.
Merapikan rambutnya yang tidak beraturan. "Tadi Metha SMS aku katanya kamu
sendirian di sanggar, makanya aku langsung kesini", katanya seraya
memasang senyum lebar-lebar. "Aku khawatir sama kamu, kalau ada
apa-apa" masih tersenyum manis.
Aku
tidak menjawabnya, aku terpana, mulutku terkunci rapat. Bukan karena pesonanya,
tapi perkataannya yang baru saja ia lontarkan. Sebegitu khawatirkah dia padaku?
Aku masih sibuk mencerna apa yang ku dengar.
"Ghe..? Haluu.." Tangannya
melayang-layang di depan mukaku. Sesegera mungkin aku sadar dari bius
kata-katanya. "Oh iyaa Ram, makasih ya? Kenapa repot-repot kesini kan
latihannya masih ntar sore?" Ku tatap jam dinding di atas lemari
menunjukkan pukul 14.00. "Ya nggak apa-apa dong sambil maen aja, nemenin
kamu juga" Jawabnya masih sambil tersenyum.
Kami terlihat canggung, bahkan kami memanggil
"aku-kamu" yang biasanya jika berbicara dengan Metha
"loe-gue". Apa –apaan ini aku salah tingkah, apa yang terjadi. Waktu
dan suasana menyudutkan hatiku. Dan hujan semakin deras, tapi petir tidak
kadang kali ini. Aku sedikit lega.
Dia berkeliling ruangan, mengamati benda-benda
di sanggar ini. Sanggar yang tidak terlalu luas tapi cukup untuk latihan
sehari-hari. "Itu foto waktu kita pentas di taman kota" kataku
bersemangat menjelaskan setiap foto yang ia amati."kalau yang ini ?"
ia menunjuk sebuah foto. "Itu bang Boim sama bu Fara. Bang Boim itu senior
kita dia sekarang kelas 3, terus bu Fara itu penanggung jawab eskul teater
ini."
"Kamu pindahan dari mana sih Ram?"
Pertanyaan yang tolol, jelas-jelas kita sekelas tapi aku tidak tahu di
darimana.
"Kamu parah ya Ghe..."
Sahutnya sambil menggaruk-nggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal, berjalan
menunjuk tempat dimana aku duduk manis. "Aku dari Jogja, ortu pindah tugas
jadi aku ngikut mereka deh." Lanjutnya. "Pantes namamu
"RAMA" tapi kok mukamu bule sih?" tanyaku penuh selidik.
"Haha..aneh
ya?" Ia tertawa renyah.
"Papaku dari Jerman, Mama asli Jogja. Tapi aku sama sekali nggak bisa
bahasa Jerman." Ia tertawa, aku juga tertawa, dan lebih tepatnya kami
tertawa bersama-sama.
Hujan mengakrabkan kami. Satu persatu anggota
teater mulai muncul dan hujan agak reda. Aroma tanah basah merasuk menuju
penciuman. " Ghea, hujan-hujan yuk?" Rama mengajakku hujan-hujan.
"Hah, hujan-hujan, aku nggak suka hujan Ram," Kataku sambil memasang
muka asam. "Kenapa? Takut basah? Takut masuk angin?" Ia bertanya
seperti pengacara. "Enggak, ya nggak suka ajah sama hujan" Kali ini
aku menegaskan kata-kataku.
"Aku janji suatu saat aku bakal bikin kamu
damai sama hujan." Katanya mantap.
"Caranya?"
"Rahasia, udah tenang aja
nanti kamu bakalan damai sama hujan"
"Oke..janji kan" Aku
mengacungkan jari kelingking tanda janji telah berlaku. Kami semakin hari semakin akrab.
Hingga 3 bulan berlalu, kedekatan kami semakin
menjadi. Kami memutuskan untuk bersahabat. Kami berempat, aku, Rama, Metha dan
pacarnya yang juga satu sekolah dengan kami. Kami selalu bersama, nonton,
shopping, dan juga les. Waktu itu satu minggu sebelum ujian akhir semester.
Rama mengajakku jalan-jalan, dan aku mengiyakannya. Di sebuah taman kota dia
sedang unjuk kebolehannya bermain sketboard. Rama terlihat keren, ini pertama
aku memujinya secara berlebihan.
Suasana mendung tidak menyurutkan semangatnya.
Ku lihat di pojokan taman sepasang kekasih sedang bermesraan, memangnya nggak
takut ditanggkap satpam ya mereka. Aku hanya geleng-geleng kepala, lantas
beralih lagi memperhatikan Rama yang sedang asyik di atas sketboard. "Ram
lo pernah jatuh nggak? Sakit nggak?" Ku pasang muka polos sambil
memandangnya.
"Ya pernah lah, kalo ditanya sakit apa
enggak? Ya jelas sakitlah" Tangannya mengacak-acak poniku. Gemas.
"Rama..! Jadi berantakan nih poni gue" Mukaku cemberut bersemu merah.
"Elu sih nggemesin" Kali ini mencubit pipiku. Aku hanya meringis
kesakitan. Semakin akrabnya kami, kami sudah tidak canggung memanggil
"elu-gue".
"Oh iya kenapa kita nggak
bareng-bareng jalan ke tamannya Ram? Kok cuman berdua ?" Tanyaku pada Rama
yang kini duduk di sampingku.
"Karena gue mau ngomong
sesuatu sama elu" Rama mengelap keringat di keningnya.
"Ngomong apaan? Tumben
muka lu sok serius gitu" .
"Gini Ghe, bulan depan
ortu gue mau pindah ke Jogja" Nadanya menggantung.
"Terus..? Lu nggak ikutan
pindah kan Ram..??" Kataku sambil menengok wajahnya.
" Gue ikut mereka pindah
Ghe." Kini nadanya melemah.
Sunyi. Aku tak menanggapinya lagi. Kami diam seribu bahasa.
Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil di depan
taman ku lihat sebuah mobil, dan pengemudinya turun seorang gadis cantik
bertubuh bagus. Gadis itu melambai ke arah kami. Aku dengan tatapan bingung,
menoleh ke arah Rama, dan Rama membalas lambaiannya.
" Ghe gue udah dijemput,
gue pulang duluan ya.?" Sambil tersenyum manis.
"Iya." Senyum kecut.
Ku lihat Rama berlari ke arah gadis itu, Rama mencium pipi kanan-kiri gadis
itu.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadaku,
terasa sesak. Sejak itu jarang ku temui dia di kelas. Aku murung lagi kembali
seperti sediakala menjadi cewek cuek.
***
Tak ku sangka sudah dua jam aku mandangi hujan
di depan jendela yang basah ini. Mengingat semua tentangnya, satu tahun yang lalu. Hujan, aku ingin makluk asing itu hadir lagi.
Dia belum menepati janjinya untuk mendamaikanku denganmu. Aku disini di kotanya,
tapi aku harus cari kemana sosok aneh itu.
Rama jika memang kau ingkari, dan kau tak ingin
kembali untuk menepati janjimu. Aku akan menyerah. Tapi jika kau ingin kembali
kapanpun, aku masih di sini, di kotamu.