" Rey..! Duduklah..! Aku pusing lihat kau mondar-mandir terus! " Seorang perempuan muda yang sedang duduk terlihat kesal.
Rey berdiri di hadapan perempuan itu. " Mei..bagaiman aku bisa duduk tenang? Di dalam sana Maya sedang operasi!" Sekali lagi Rey meremas kuat rambutnya.
Meila melipat tangannya. Ia terlihat masih kesal. " Kalau saja kamu tidak pergi, mungkin kondisi Maya tak separah ini! Kau tau Rey, kondisi Maya memburuk setelah kau pergi dan tak bisa dihubungi lagi..! " Nada bicara Meila semakin tinggi. Lalu ia meninggalkan Rey mematung di lorong rumah sakit. Meila mencoba menahan air matanya.
Rey terdiam. Ia menduduk, matanya berkaca-kaca. Lorong rumah sakit itu menghening.
***
Rumah bergaya minimalis itu nampak sejuk dengan taman yang tertata rajin mengelilingi halaman rumah. Ada beberapa bunga-bunga di teras rumah. Menandakan bahwa yang empunya rumah menyukai tanaman. Cat rumah warna orens muda terlihat begitu asri.
Rey baru saja bangun tidur. Selimut tebal masih membungkusnya rapat. Nampaknya ia masih enggan beranjak dari tempat tidur. Rey menoleh ke samping kanannya, Maya sudah bangun rupanya. Tiba-tiba ia mengendus aroma butter yang nikmat. Hidungnya mulai mengendus-ngendus kemana arah aroma itu berasal.
Rey turun manapaki anak tangga tanpa memakai alas kaki. Hidungnya masih bergerak-gerak, dan aroma butter itu semakin kuat. Ditengoknya ke arah dapur. Seorang wanita muda dengan celemek hijau muda dan baju tidur panjang. Sedang berkutat dengan sesuatu di dapur.
Ia berhenti di pintu dapur. Memandang istrinya yang sedang memasak. Rey tersenyum, lalu mencoba mendekati istrinya yang tidak sadar akan kedatangannya. Rey memeluk pinggang langsing itu. Memeluknya erat, menghirup aroma tubuhnya lekat-lekat. Menyandarkan dagunya ke bahu kecil itu.
" Astaga! Rey..kau membuatku kaget!" Maya seketika hampir melonjak. Tangannya bergetar. Detak jantungnya melonjak. Maya memegangngi dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya. " Maaf sayang, kamu sedang masak apa?" Rupanya suara Rey yang mampu membuat detak jantung itu kembali berdetak dengan normal.
Maya membalikkan badannya. " Bikin roti bakar, buat kamu sarapan." Tangannya mengusap lembut dahi Rey dengan lembut. Rey tersenyum manis. " Sudah lepaskan tangannmu itu Rey, aku masak dulu." Maya mengedipkan mata pada Rey. " Hey, kenapa kamu tidak pakai alas kaki Rey? Nanti masuk angin lho? " Maya berkacak pinggang. Mengomeli suaminya yang terkadang bandel. " Iya-iya sayang, kamu cerewet banget sih..?" Rey memeluk lagi istrinya. " Sudah Rey, mandilah sana, kamu bisa terlambat." Maya membalikkan badannya. Kembali pada roti bakarnya yang hampir saja gosong.
***
Rey nampak sibuk. Lembar-lembar kertas berserakkan di meja kerjanya. Ia meraih cangkir kopi yang sudah separuh itu. Menghela nafas berat, ketika memandangi kertas-kertas itu. Tiba-tiba, Ratna sekertaris Rey mengetok pintu.
" Ya ada apa?" Rey nampak tak ingin diganggu. Tanpa menoleh ke arah sekertarisnya. " Ada yang ingin ketemu bapak. " Ratna tampak aragu-ragu. " Siapa..?" Kali ini Rey menganggkat kepalanya. Dan mencoba membenarkan letak kacamatanya.
" Katanya tadi teman lama bapak"
Rey mengerutkan dahinya. Penasaran. " Oke. Suruh masuk" Rey membereskan kertas yang berserakan di meja kantornya. Ia memandang pintu kaca transparan. Sosok laki-laki tinggi tegap berada di depan pintu.
" Masuk." Rey membenarkan posisi duduknya. Dan merapatkan dasi yang tadi ia longgarkan. Laki-laki itu masuk ke ruangan Rey yang lumayan besar. Ia memakai jaket tebal warna hitam dengan bawahan celana jins, dan sepatu olahraga warna putih. Nampak sporty. " Silakan duduk." Rey nampak ragu-ragu menyambut laki-laki asing itu. Rey merasa tidak mengenalnya, namun wajahnya seperti familiar. Laki-laki itu menunduk. Rey mencoba mengawali pembicaraan. " Ada yang bisa saya bantu? Apa kita pernah kenal..?" Ia memainkan jari-jari tangannya mencoba mencari kata yang tepat.
Laki-laki itu akhirnya mengangkat kepalanya. Menatap Rey tajam. " Kau lupa dengan aku..?" Laki-laki itu nampak bermuka serius. Rey kembali mengerutkan dahinya. Dan menggeleng pelan. " Kalau ini kau ingat? " Laki-laki itu menunjukkan sebuah foto. Di foto itu terlihat seorang pria memeluk wanita cantik. Lali-laki itu menyodorkan foto itu pada Rey. Rey mengambil foto itu, tangannya bergetar. Ia mengenggam tangannya kuat-kuat, hampir meremas foto itu. Wanita dalam foto itu Maya, istrinya. Foto yang mungkin di ambil ketika mereka belum menikah beberapa tahun yang lalu. Memory pahit itu seketika kembali lagi.
" Andri..!! Kenapa kau kesini? Apa yang kau mau..??" Rey berdiri dari duduknya. Nada bicaranya meninggi. Ia emosi.
"Aku hanya mengingatkanmu saja. Bahwa Maya tak pernah bahagia bersamamu!"
" Tau apa kau soal Maya..!"
" Asal kau tahu Rey, kau tak pantas untuk Maya!"
" Keluar sekarang juga..!!" Rey tidak bisa menahan emosinya.
Andri keluar dengan rasa menang sudah membuat emosi Rey. Rey mencengkeram rambutnya. Emosinya tak terkendali.
***
Mobil BMW mewah itu melaju tak terkendali di jalan yang basah akibat hujan. Rey berkali-kali memukul-mukul setir mobilnya. Emosi masih menguasai dirinya. Hingga sampai di depan gerbang rumahnya yang tertutup. Rey menghentak-hentakkan klakson mobil hingga terdengar bising.
Dari dalam nampak Maya berlari menghampiri gerbang. " Pelan-pelan Rey.." Maya mencoba mengingatkan suaminya agar memakir mobilnya pelan-pelan. Rey keluar mobil lalu langsung masuk ke dalam rumah tanpa menyapa Maya yang masih mematung di teras. " Rey...kamu kenapa..?" Maya mengekor suaminya menuju kamar mereka.
Maya mencoba menenagkan Rey yang sedari tadi hanya mondar-mandir di depan tempat tidur. " Rey.. ada apa..? Ada masalah di kantor?" Maya mendekati Rey, membelainya lembut. Tak disangka Maya, Rey mencoba menghindari tangan Maya. Sontak Maya kaget dengan perlakuan Rey. " Jelaskan apa maksudnya ini?" Rey menunjukkan foto yang ia dapat dari Andri.
" Rey kita sudah pernah bahas ini berkali-kali kan sebelum kita memutuskan untuk menikah." Maya mencoba meredam emosi Rey. " Iya kita memang pernah bahas ini dulu! Tapi aku nggak bisa maafin ini!" Rey terlanjur marah. "Berarti kamu nggak pernah maafin aku selama ini?" Maya mencoba memeluk Rey, namun Rey menghindarinya. Ia malah membuka lemari dan mulai mengeluarkan semua pakaiannya. "Rey kau mau kemana..?" Maya panik. Mencoba merebut baju Rey dan memasukkannya kembali ke lemari. Rey bersikeras, ia meraih tas besar di atas lemari. " Aku mau pulang ke medan..!!" Nada tinggi Rey membuat Maya terisak.
" Rey jangan pergi!" Maya merangkul kaki Rey yang akan melangkah pergi dari rumah. Rey tetap keras kepala, ia pergi meninggalkan Maya yang semakin terisak.
***
Sejak saat itu kondisi Maya memburuk. Kepada Meila lah dia berbagi. Sahabatnya yang selama ini mengurusi Maya. Dan sudah dua bulan tidak pernah ada kabar dari Rey, handphonenya tidak bisa di hubungi. Maya di vonis menderita kanker otak oleh dokter. Hari ini Maya menjalani operasi, dan hari ini pula Rey kembali.
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. " Anda keluarga bu Maya..?" Tanya dokter itu pada Rey yang masih terlihat sedih. Rey sekita berdiri di hadapan dokter itu. " Iya dok, saya suaminya" Ujar Rey, sambil mengusap air matanya yang hampir menetes di ujung matanya. " Operasi Bu Maya berjalan dengan lancar. Dan janin yang dikandungnya selamat." Dokter itu tersenyum lega. " Janin dok?" Rey nampak bingung. " Ya bu Maya sedang mengandung dua bulan" Sekali lagi dokter itu tersenyum pada Rey.
Rey memasuki ruangan tempat Maya di rawat. Ruangan yang lumayan luas, dengan sofa besar di sudutnya. Maya nampak terbaring lemah. Rey menghampirinya, tangannya bergetar. Ada sebutir airmata di ujung matanya yang hampir menetes. " Harusnya aku nggak tinggalin kamu, harusnya aku bisa naham emosiku kemarin" Rey terisak sambil memegangi tangan Maya yang lemas. " Aku minta maaf sayang, aku nggak akan tinggalin kamu lagi" Rey makin terisak. Tiba-tiba ada tangan yang lemah mengelus rambutnya lembut. " Rey, kamu disini?" Ujar Maya yang baru saja sadar dengan mangkok oksigen yang masih menutup hidung dan mulutnya. " Maya..Maya..! Kamu sudah sadar?" Rey mengelus rambut Maya yang terurai panjang.
" Jangan tinggalin aku Rey"
" Nggak, aku nggak akan tinggalin kamu sama calon anak kita" Rey mengelus perut Maya yang belum terlihat membuncit. Maya tersenyum, Rey mencium kening Maya lembut.